Cara The Body Shop Memperbarui Koneksi

PRINDONESIA.CO | Senin, 25/11/2019 | 1.647
"Kita harus berubah, jika tidak maka bisnis ini tidak akan berkelanjutan," kata Suzy, Executive Chairwoman The Body Shop Indonesia (kanan), saat menjadi pembicara di Endeavor.
Dok. Maverick

Bahkan sekelas The Body Shop,  brand kosmetik berbahan dasar alami yang dikenal menjunjung tinggi etika berbisnis dan peduli dengan berbagai isu serta keberlangsungan lingkungan, pun harus memperbarui cara mereka berkomunikasi kepada pelanggan.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Padahal jika dicermati, budaya dan prinsip perusahaan sangat relevan dengan karakter milenial masa kini. Suzy Hutomo, Executive Chairwoman The Body Shop Indonesia, mengakui kepada PR INDONESIA saat menemuinya usai menjadi pemateri di acara Endeavor di Jakarta, Rabu (20/11/2019).

Dari banyak hasil penelitian, dibalik karakternya yang ingin serba cepat, milenial bahkan generasi Z, sebenarnya adalah generasi yang peduli dan kritis. “Ketika kami mengatakan, kami menerima botol bekas pakai, mereka akan bertanya, nanti botolnya dikemanakan? Buat apa?” ujarnya memberi contoh. Ketika mereka sudah mengetahui keingintahuannya dan tujuan dari pengumpulan botol bekas itu, mereka akan antusias terlibat. “Generasi sebelumnya tidak  bertanya sejauh itu. Tapi, milenial lebih peduli. Generasi sebelumnya, kami harus banyak melakukan edukasi,” imbuhnya.

Lainnya yang berbeda adalah, “Dulu, lebih banyak kita yang bicara kalau kita ini begitu dan begini. Sekarang, kita butuh mereka untuk mendengar tentang kita dari orang lain. Jika sudah begitu, baru mereka mau percaya,” kata perempuan yang bersama suaminya membawa The Body Shop ke Indonesia tahun 1992.

Tak kalah penting soal pengalaman (experiment user). Untuk hal ini, perusahaan melakukan pendekatan dari dua hal. Pertama, memberikan pengalaman saat mereka berkunjung ke toko. Kedua, pengalaman saat mereka terlibat atau menjadi sukarelawan dalam kegiatan/event sosial/aksi yang diinisiasi oleh The Body Shop.

Bedanya lagi, katanya, saat memberikan pengalaman di toko, mereka harus melakukannya secara cepat. Alasannya, pelanggan telah menghimpun banyak informasi secara on-line. “Awareness dan engagement lebih banyak terjadi di on-line. Ketika ke toko, mereka hanya ingin mengonfirmasi ulang,” kata Suzy.

 

Berubah

Perubahan lanskap dan digital customer inilah yang membuat perusahaan yang didirikan oleh Anita Roddrick tahun 1976 tersebut harus mengubah budaya kerja dan memperbarui koneksi. “Kami membuat pernyataan tegas di depan. Kita harus berubah, jika tidak maka bisnis ini tidak akan berkelanjutan,” imbuhnya.

Khusus tentang public relations (PR) dan cara mereka membangun engagement juga awareness, mereka harus mampu membangun komunikasi dan percakapan yang padat tapi dalam waktu singkat. Namun, tetap menarik untuk didengarkan. “Generasi yang lama itu sabar untuk mendengar. Generasi sekarang soundbait. Mereka mau dalam waktu 30 detik semua pesan harus bisa ditangkap dan mudah dipahami,” katanya.

Fungsi content creator dan influencer sebagai penyambung informasi pun menjadi sangat penting. Demikian halnya dengan fungsi digital PR. “Komunikasinya harus 360. Agar selaras, kami memutuskan PR yang tadinya terpisah, berada di satu divisi dengan marketing,” tutupnya. (rtn)