Di masa pandemi ini, literasi digital menjadi kemampuan yang mesti dimiliki dalam bersosial media pascapandemi. Salah satunya, mengenali dan menyikapi hoaks.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Poin penting ini disampaikan oleh founder womenpedia.co Marsya Gusman saat didapuk menjadi pembicara di rangkaian acara Festival Indonesia Bangkit yang diadakan secara virtual, Rabu (10/6/2020). Sebagai sosok di balik organisasi yang bergerak secara virtual, ia mengerti betul bahwa kehadiran teknologi digital bagaikan pedang bermata dua. Jika dimanfaatkan dengan benar bisa membawa banyak hal baik. Sebaliknya, jika disalahgunakan akan berdampak negatif.
Salah satu yang disoroti oleh jebolan Miss Asia International 2018 ini adalah banyaknya informasi yang dengan mudah bertebaran di internet, khususnya media sosial. Jumlahnya diyakini makin meningkat selama pandemi Covid-19 . “Banyak yang tidak menyadari hoaks muncul dengan berbagai bentuk,” ujar Marsya.
Marsya merangkum beberapa jenis hoaks. Antara lain:
“Fake News”
Fake news atau berita palsu ditulis dengan kesengajaan untuk memalsukan suatu kejadian.
“Clickbait”
Clickbait merupakan upaya yang kerap dilakukan oleh media untuk menarik perhatian pembaca dengan membuat judul berita yang bombastis. Ini dilakukan untuk mendapatkan “klik” dari pembaca dan meningkatkan traffic website. Media memerlukan hal ini. Sebab, semakin tinggi traffic semakin banyak pula pengiklan.
“Confirmation Bias”
Hal ini bisa terjadi karena penulis menginterpretasikan suatu peristiwa hanya dengan bukti dan kepercayaan yang ada tanpa mengonfirmasi kepada pihak yang berwenang atau ahli. Kondisi ini biasanya terjadi karena penulis mengejar waktu agar dapat segera mengunggah berita.
Misinformasi
Merupakan informasi yang salah yang sengaja disebarkan dengan tujuan menipu.
Satir
Hoaks jenis ini kerap terjadi karena ketidaksengajaan. Biasanya bisa banyak ditemui di akun humor di media sosial. Bagi mereka yang paham akan langsung mengerti satir yang merupakan sindiran dan humor. Namun, bagi pihak yang kurang terbiasa, tidak jarang salah mengartikan berita dan langsung dipercaya begitu saja sebagai kebenaran. Alhasil, berujung pada kesalahpahaman.
“Post-Truth”
Ini adalah peristiwa ketika emosi lebih berperan dari pada fakta untuk membangun sebuah opini.
Propaganda
Hoaks jenis ini sering ditemukan ketika musim politik. Biasanya dilakukan untuk menyebarkan informasi yang menjatuhkan lawan dan menggiring opini publik.
Dengan beragamnya jenis hoaks tadi, dan masih ada kemungkinan muncul jenis hoaks baru, Masya mengajak publik, khususnya generasi milenial lebih peka. Budaya verifikasi jadi penting. “Selalu cek sumber asli berita, cari informasi pembanding yang berasal dari media-media kompeten. Teliti lagi apakah informasi itu berisi sensasi, provokasi atau ujaran kebencian,” katanya. “Yang pasti, jangan terlalu cepat menyebarkan informasi. Kalau ternyata informasi itu hoaks, sebisa mungkin berhenti di kita,” tutupnya, tegas. (den)
- BERITA TERKAIT
- Tiga Institusi asal Indonesia Jadi Pemenang di Ajang AMEC Awards 2024
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab