Tekan Dampak Krisis, Ini Pedomannya  

PRINDONESIA.CO | Kamis, 08/04/2021 | 2.030
Pada saat krisis, protokol yang dijalankan bukan lagi manajemen isu dan risiko, tapi protokol manajemen krisis.
Dok. Liputan 6

Sebaik apapun upaya penanganan kebakaran Kilang Pertamina Balongan yang terjadi pada dini hari, 29 Maret lalu, ada fakta yang tidak bisa dibantah. Apa itu?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Suka atau tidak suka, menurut Firsan Nova, CEO Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication, manajemen risiko perusahaan instansi yang bersangkutan telah gagal dalam mendeteksi risiko yang berpeluang menjadi krisis, dalam hal ini kebocoran pipa yang diduga menjadi penyebab insiden.

Krisis bisa terjadi pada siapapun dan organisasi manapun. Untuk itu, kenali beberapa faktor yang mendorong gagalnya suatu instansi mengelola risiko. Antara lain, prediksi yang kurang tepat, tidak peka. Atau sebaliknya, mengabaikan potensi risiko.

Pada dasarnya, kata Firsan, ada tiga protokol yang mesti dimiliki setiap organisasi. Terdiri dari protokol manajemen isu, risiko, dan krisis. Khusus, protokol manajemen isu dan risiko dapat dijalankan secara bersamaan. Keduanya memiliki peran yang sama, yakni mencegah organisasi masuk ke level krisis manajemen.

Dalam risk management, ia melanjutkan, ada tiga hal yang harus disiapkan. Pertama, bersiap-siap. Kedua, antisipasi. Ketiga, membangun early warning system. Firsan memberi contoh sederhana. Ketika bangun tidur dan merasa pusing, berarti kita sedang dalam posisi berhati-hati. Sebab, kondisi ini bisa menjadi indikator kesehatan kita sedang dalam masalah.

“Perlu digarisbawahi, setiap industri memiliki isu berbeda-beda dan level krisis masing-masing,” ujarnya. “Yang pasti, apabila sudah masuk ke krisis manajemen, maka organisasi telah gagal melakukan issue dan risk management,” katanya saat mengisi acara CPROCOM melalui IG Live, Kamis (1/4/2021).

Pada saat krisis, protokol yang dijalankan bukan lagi manajemen isu dan risiko, tapi protokol manajemen krisis. Berdasarkan buku Public Relations yang ditulis Firsan bersama Dian Agustine Nuriman dan M. Akbar, di dalam kebijakan krisis perusahaan itu umumnya mencakup metode yang teroganisir dan sistematis untuk membantu karyawan dalam menghadapi krisis, dan panduan merespons krisis.

Selain itu, membantu tim krisis untuk membuat kelutusan dan berbagi tanggung jawab, meyakinkan publik bahwa perusahaan memiliki rencana dan sumber daya dalam menghadapi krisis, menciptakan hubungan kolaboratif yang kuat dan mendorong perusahaan meningkatkan komunikasi. Tujuannya, tak lain untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat krisis. 


Pedoman  

Adapun pedoman umum untuk membantu manajemen pada saat krisis. Pertama, mempersiapkan contingency plan. Anggota tim krisis manajemen dapat dibentuk dalam waktu singkat. Dengan catatan, rutin mengadakan pelatihan untuk menghadapi berbagai macam krisis. Kedua, segera mengumumkan official spokesperson. Dialah yang ditunjuk perusahaan, berhak bicara, dan memberikan data mengenai krisis ke publik dan media.

Ketiga, bergerak cepat sejak jam pertama ketika krisis terjadi sangat krusial. Keempat, menggandeng konsultan manajemen krisis. “Saran mereka penting di situasi seperti ini,” katanya. Kelima, memberikan informasi yang akurat dan benar. Sebaliknya, manipulasi informasi hanya akan berbalik menjadi bahaya. Keenam, ketika memutuskan bertindak, jangan hanya mempertimbangkan kerugian jangka pendek. Lebih dari itu, pikirkan juga efek jangka panjangnya. Lainnya yang tidak boleh dilupakan, melakukan audit dan evaluasi pascakrisis agar kejadian serupa tidak terulang. 

Ia memberi contoh kasus, gunung meletus. Meski merupakan bencana alam, tetapi jika bicara manajemen, maka perusahaan harus mampu mengetahui adanya risiko itu dan melakukan mitigasi.  Misalnya, dengan memanfaatkan teknologi untuk mengetahui aktivitas gunung dan potensi krisis. Dengan demikian, kita dapat memiliki waktu untuk bersiap-siap.

Ketika krisis terjadi, kita juga sudah melakukan mitigasi dengan melakukan segala sesuatu yang bertujuan untuk mengurangi dampak dan korban jiwa. Contoh, membuat rute, mempersiapkan proses evakuasi, menyediakan tempat pengungsian, memberikan pendampingan, dan lain sebagainya. “Jepang salah satu negara yang menyadari betul risiko wilayahnya yang rentan gempa. Maka, yang dilakukan adalah memitigasi segala dampak yang mungkin terjadi akibat gempa dan mengurangi korban jiwa. Salah satunya, melakukan inovasi bangunan tahan gempa,” tutupnya. (rtn)