Cara Mengidentifikasi Krisis Media

PRINDONESIA.CO | Kamis, 27/10/2022 | 1.278
PR memerlukan kerangkan respons krisis yang fleksibel untuk mengatasi berbagai macam krisis
Dok. Vectorjuice

Praktisi public relations (PR) perlu memiliki kerangka identifikasi krisis yang dapat menjadi acuan perencanaan aksi dan respons untuk berbagai macam krisis.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Bagi praktisi public relations (PR), mengidentifikasi kapan organisasi berada dalam krisis terkadang menjadi tantangan tersendiri. Salah atau terlalu berlebihan dalam merespons tanggapan negatif di sosial media juga dapat memperparah krisis.

Isu ini menjadi pembahasan hangat dalam webinar “How Media Monitoring Can Calm a Crisis,” yang diadakan oleh Ragan dan NewsWhip, Selasa (19/4/2022). Kedua pembicara, yakni Paul Quigley, salah satu pendiri dan CEO NewsWhip dan Christopher Rivera, Direktur Tim Reputasi dari Samsung Electronics America mengupas cara untuk mempersiapkan, mengidentifikasi, dan menanggapi krisis yang melibatkan perusahaan ketika muncul di berita dan media sosial.

Keduanya sepakat, dalam menangani sebuah krisis, PR perlu membuat rancana yang fleksibel dan tidak kaku. Hal ini dikarenakan  krisis memiliki karakteristiknya masing-masing dan tidak dapat di ukur melalui satu faktor saja.

Menurut Rivera, praktisi PR dapat mencontoh konsep umum dalam merespons krisis di dunia militer. Konsep yang dimaksud adalah observe, orient, decide, action (OODA). Observe atau amati, orient adalah memahami yang terjadi, decide artinya mengambil keputusan, action merupakan tindakan yang akan dilakukan.

Konsep OODA akan memudahkan praktisi PR dalam melakukan identifikasi krisis. Meski begitu, kata Rivera, tak menutup kemungkinan kita dapat menggunakan kerangka lain. Namun, yang harus digarisbawahi adalah kita harus memastikan kerangka tersebut cukup fleksibel untuk menanggapi setiap krisis yang terjadi.

 

Mengidentifikasi Krisis

Tak bisa dipungkiri, komentar yang menarik perhatian publik dan stakeholders, apalagi jika isinya merupakan komentar negatif, sering kali dianggap sebagai krisis besar oleh organisasi. Padahal, menurut Quigley, tidak semua krisis perlu ditanggapi. Sebaliknya, PR perlu melihat konteks dan sudut pandang krisis. Sebab, ada kalanya krisis yang terjadi tidak selalu menyerang organisasi, tetapi ekosistem yang berada di sekitarnya.

Namun, pada skenario lain, krisis dapat terjadi di dalam ekosistem organisasi dan bereskalasi menjadi berita nasional. Untuk kasus seperti ini, PR dituntut untuk bertindak cepat dan memiliki data yang konkret terkait tingkat penyebaran, konteks, serta asal krisis.

Untuk mengatasi krisis di era digital, Quigley berpendapat PR perlu memiliki sumber daya data untuk melihat dampak, sebaran, dan aksi yang tepat untuk dilakukan. ”Dalam mengatasi krisis, penting bagi praktisi PR untuk dapat menemukan dinamikanya dan melihat peluang ke depan,” tutupnya. (zil)