Waspada Serangan “Deepfake”, Apa Itu?

PRINDONESIA.CO | Jumat, 28/10/2022 | 1.468
Deepfake telah merusak banyak reputasi, praktisi PR perlu waspada.
Dok. pchvector

Ancaman digital menyerang reputasi semakin nyata. Praktisi public relations (PR) harus sadar dengan perkembangan teknologi yang cepat agar tidak terpedaya oleh potensi deepfake.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kecerdasan buatan (artificial intelligence) menjadi solusi untuk banyak hal. Namun, bisa menimbulkan ancaman serius apabila digunakan untuk niat buruk. Deepfake misalnya, merupakan gambar, video, dan audio palsu yang menggambarkan orang, tempat, atau peristiwa nyata dengan cara yang merusak.

Berdasarkan informasi yang dilansir dari theguardian.com, Senin (12/1/2020), deepdake dapat secara digital meniru kita atau siapa pun yang kita kenal, lalu menyebarkan informasi yang membahayakan. Seolah-olah kita yang menyampaikan informasi tersebut. Deepfake pernah menggemparkan dunia pada tahun 2018. Ketika itu ada informasi yang menunjukkan Barack Obama palsu menghina Donald Trump. Masih dari sumber yang sama, deepfake saat ini terus berkembang dan semakin sulit untuk dibedakan dengan kenyataan. Serta, telah merusak banyak reputasi baik organisasi maupun individu.

Oleh karenanya, penting bagi praktisi public relations (PR) untuk mengetahui isu ini agar dapat menghindari, atau paling tidak, tahu cara mengatasinya. Ellen Huber, account supervisor dari Kglobal, LLC, seperti yang dilansir dari prnewsonline.com, Minggu (7/6/2020), mengatakan, hal ini dikarenakan algoritma yang digunakan untuk membuat deepfake diperoleh dari data nyata, sehingga cukup sulit untuk membedakannya.

Pelaku deepfake biasanya menggunakan serangan phising yang jika ditelaah definisinya, seperti dikutip dari Kompas.com,  adalah kejahatan digital yang dilakukan dengan cara menargetkan informasi atau data sensitif seseorang melalui e-mail, unggahan media sosial, pesan teks, termasuk informasi visual yang bersangkutan, lalu melakukan teknik pengelabuan dengan menirukan identitasnya. Istilah phising sendiri merupakan bentuk lain dari kata yang berasal dari bahasa Inggris, yakni fishing, yang artinya memancing.   

Menurut Huber, jika perusahaan Anda mendapatkan serangan deepfake, praktisi PR perlu membuat skenario komunikasi untuk merespons krisis. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah melakukan komunikasi dengan platform media sosial di mana deepfake berada, lalu menghapus kontennya.  

Selanjutnya, PR membuat pernyataan publik mengenai isu yang terjadi, sembari mengedukasi audiens mengenai deepfake. Sehingga, audiens lebih dapat memahami krisis yang terjadi.

Meskipun sulit untuk dilacak, deepfake masih dapat dicegah. Caranya, PR dapat menyebarkan kesadaran dan pendidikan tentang deepfake di antara kolega dan perusahaan. Selain itu, PR juga dapat melakukan pelatihan protokol keamanan digital dan dapat menggunakan social listening untuk memantau keberadaan on-line perusahaan. Dengan langkah tersebut, PR dapat mengetahui potensi deepfake secara real-time.

Huber berpendapat setiap upaya yang dilakukan dalam rangka bersiap untuk sebuah ancaman adalah setengah dari kemenangan. Oleh karena itu, ia mengajak PR beserta seluruh karyawan untuk selalu menjaga diri dan tetap terinformasi dengan kemajuan teknologi terkini agar dapat terhindar dan mengetahui cara menangani penipuan yang mengandung unsur deepfake. (zil)