Menjaga Reputasi dengan Akuntabilitas Komunikasi

PRINDONESIA.CO | Senin, 21/04/2025
CEO PR INDONESIA Group Asmono Wikan berbagi informasi dalam webinar PR INDONESIA Insight
doc: PRINDONESIA.CO

Komunikasi publik perlu dilakukan secara akuntabel, strategis, dan empatik untuk menjaga reputasi organisasi yang berkelanjutan dan berdampak baik bagi publik.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kualitas komunikasi publik suatu institusi akan berbanding lurus dengan reputasi dan tingkat kepercayaan publik. Komunikasi yang tidak terarah dan hanya mengedepankan emosi, misalnya, besar kemungkinan akan berdampak kepada memburuknya reputasi dan menurunnya kepercayaan publik. 

Dalam konteks ini, pendiri sekaligus CEO PR INDONESIA Group Asmono Wikan berpandangan, satu hal esensial yang dibutuhkan adalah akuntabilitas komunikasi. Namun, terangnya, akuntabilitas yang dimaksud bukan hanya soal muatan komunikasi, melainkan juga gaya, intonasi, hingga sikap sang komunikator.

“Jika pesan disampaikan tidak jelas dengan ledakan emosi, gaya bicara yang sembrono, maka yang akan diterima publik cuma emosi, bukan subsatansi,” ujarnya dalam webinar PR INDONESIA Insight bertajuk “Menguatkan Digital Melalui Akuntabilitas Komunikasi, Rabu (16/4/2025).

Sementara itu, Mardiasmo dalam jurnal Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kabupaten Bungo dalam Pemenuhan Ketersediaan Informasi Publik (2014) menjelaskan, konsep akuntabilitas pada organisasi sektor publik sejatinya mencakup kewajiban memberikan informasi sebagai bentuk pemenuhan hak-hak publik yang meliputi hak mengetahui (right to know), hak diberi informasi (right to be informed), dan hak didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to).

Gatekeeper” Pesan Publik

Dalam konteks komunikasi organisasi, Asmono melanjutkan, praktisi public relations (PR) idealnya mengambil peran sebagai gatekeeper pesan publik. Kinerja praktisi PR, katanya, sangat vital dalam menyiapkan pemimpin agar tidak grasa-grusu ketika menyampaikan informasi ke publik.

Selain itu, menganalogikan komunikasi layaknya aliran darah, Asmono berpendapat, sebuah organisasi akan “sakit” jika komunikasi terhambat atau tidak lancar. Oleh karena itu, imbuhnya, dibutuhkan cara merawat komunikasi yang sehat. Salah satu caranya dengan membangun struktur komunikasi yang legitimate berbasis fakta.

“Ruang dialog yang dibangun di media sosial bisa memberikan dampak bagi stakeholder berasaskan prinsip kehati-hatian dan berkelanjutan, agar strategi komunikasi yang dibangun dapat dipertanggungjawabkan dan memberikan dampak baik kepada publik,” pungkasnya. (eda)