Tantangan Menyikapi Persepsi tentang Kebenaran di Era “Post-Truth”

PRINDONESIA.CO | Jumat, 17/11/2023 | 1.444
Di era post-truth, fakta telah bergeser menjadi persepsi.
Dok. Freepik.com

Di era pascakebenaran (post-truth), informasi berupa fakta telah bergeser menjadi persepsi. Lantas, bagaimana pelaku komunikasi mesti bersikap?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Selamat datang di era pascakebenaran (post-truth). Masa yang memengaruhi publik dalam mengonsumsi informasi, mudah disaring dan dimanipulasi upaya untuk mendukung kebenaran menjadi suara kolektif.

Demikian menurut Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Dewan Pers Asmono Wikan, dalam sesi diskusi Diskoma Edisi #10 bertajuk “Melihat Truth di Era Post-Truth” yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, secara virtual, Jumat (17/11/2023).

Menurut Asmono, di era post-truth ini, informasi yang mengandung fakta telah bergeser menjadi persepsi. Persepsi yang justru menjadi sebuah kebenaran baru. Kondisi ini membuat publik semakin sulit untuk dapat menafsirkan informasi yang benar dan tidak.

Fenomena ini pun mengundang pertanyaan peserta. Khususnya, terkait cara yang harus dilakukan untuk menyikapi persepsi berbeda-beda yang kemudian menjadikan kebenaran bervariatif dan memicu konflik.

Untuk menyikapi itu, Asmono menjawab, setiap komunikator harus membangun konsensus yang menjadi kesepakatan untuk kemudian dapat dipahami bersama. “Potensi disharmoni mungkin saja terjadi. Oleh karenanya, komunikator harus mampu menciptakan komunikasi yang membawa pada konsensus bersama,” ujarnya.

Persoalan Baru

Di industri media arus utama (mainstream), kata Asmono, pergeseran fakta menjadi persepsi itu menjadi persoalan baru. Bagi mainstream media, menyampaikan kebenaran adalah berdasarkan fakta di lapangan yang telah diverifikasi, dikurasi, dikonfirmasi, dan kemudian disajikan sebagai karya jurnalistik yang memenuhi kaidah, sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan berbagai pedoman pemberitaan yang ada.

Sementara, lanjut kata pria yang juga merupakan founder & CEO PR INDONESIA Group ini,  publik justru merasa tidak cukup dan tidak membutuhkan informasi tersebut sebagai sebuah kebenaran. Sebaliknya, publik lebih membutuhkan informasi yang diberikan adalah informasi yang hanya dia inginkan. “Publik menafsirkan kebenaran sesuai dengan versinya masing-masing. Inilah yang sulit kita hindari,” ujar Asmono. 

Kendati tidak mudah berhadapan dengan era baru ini, Sekretaris Jenderal Serikat Perusahaan Pers (SPS) tersebut mengajak para pelaku komunikasi untuk dapat bersama-sama mengembalikan kebenaran ke tempat semestinya.

Salah satu upaya bersama yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan edukasi dan memberikan pemahaman kepada publik bahwa untuk menghadirkan sebuah kebenaran membutuhkan waktu dan proses yang cukup panjang. Menurutnya, edukasi itu disampaikan dengan menghadirkan makin banyak fakta ke publik melalui kanal atau media yang dekat dengan publik, misalnya, media sosial.

Fakta yang disampaikan ke publik, lanjut Asmono, tidak hanya membutuhkan fakta yang akurat. Tapi juga membutuhkan kemasan yang humanis, empatik, relevan, dan autentik. Ia berpendapat menghadirkan fakta untuk disampaikan ke publik dengan kemasan tersebut juga akan membantu organisasi atau instansi untuk mendapatkan kepercayaan dari publik. (mfp)