Berkaca dari Kasus Zara: Pelajaran Berharga tentang Konsekuensi

PRINDONESIA.CO | Selasa, 19/12/2023 | 1.563
Firsan Nova, CEO Nexus Risk Mitigation & Strategic Communication, menjawab pertanyaan soal kasus pemboikotan Zara saat diskusi The Iconomics Forum Corporate Communications Talk di Jakarta pada Jumat (15/12/2023).
Instagram Zara

Pertimbangkan dengan matang setiap konsekuensi yang ditimbulkan dari sikap yang diambil oleh perusahaan. Termasuk potensi hancurnya reputasi. Apalagi jika sikap itu bertentangan dengan publik.  

JAKARTA, PRINDONESIA.COBrand Zara menghadapi ancaman boikot dari warganet. Pasalnya, merek fesyen asal La Coruna, Spanyol, itu meluncurkan foto kampanye iklan yang dianggap merendahkan krisis kemanusiaan di Gaza, Palestina, akibat serangan Israel.

Lantas, bagaimana pandangan praktisi public relations (PR) menanggapi kasus yang sedang dialami oleh Zara tersebut? Pertanyaan ini diajukan oleh Nanda, mahasiswi PR dari Universitas Bakrie, kepada Firsan Nova, CEO Nexus Risk Mitigation & Strategic Communication, di seminar Corporate Communications Talk (5th Edition) yang berlangsung di Jakarta, Jumat (15/12/2023).

Menurut Firsan, sebuah korporasi tidak memiliki kewajiban moral untuk memihak pada pihak tertentu. Kendati demikian, kadang ada saja godaan atau panggilan moral untuk hal tertentu. Seperti ketika perusahaan A memutuskan mendukung suatu hal atau korporasi B memilih mendukung opsi C. Bahkan, tidak jarang pertimbangan moral ini datangnya dari pemilik atau pendiri perusahaan.

Kehilangan Reputasi

Namun, Firsan menggarisbawahi, korporasi harus siap menanggung konsekuensi terhadap sikap yang diambil, termasuk kemungkinan hancurnya reputasi. Oleh karena itu, penting untuk menghitung dan mengalkulasikan dampak terhadap perusahaan, sebelum mengambil keputusan. Baginya, prediksi itu sangat penting. “Karena prediksi menggunakan data dan berdasarkan analisis. Kalau tidak pakai data, namanya asumsi atau sekadar menduga,” ujarnya.

Firsan memberikan contoh kasus antara Nike dengan petinju profesional asal Filipina, Manny Pacquiao. Pada Februari 2016, pria kini aktif di dunia politik itu menghadiri wawancara di saluran televisi TV5. Ketika itu, ia menjawab pertanyaan dan menyatakan sikapnya mengenai komunitas  lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). “Saya rasa binatang pun tidak mendukung pernikahan sesama jenis, apalagi manusia,” kata pria yang di ring tinju dikenal dengan julukan PacMan ini, tegas.  

Pernyataannya ini ternyata dinilai kontroversial bagi dunia global. Akibatnya, produsen alat olahraga kelas dunia, Nike, memutus kontrak dengan Pacquiao. Meski pada akhirnya ia meminta maaf, namun petinju berstatus Octuple Champions (juara dunia dalam delapan divisi tinju yang berbeda), tetap pada pendiriannya. Tanpa protes, sang petinju pun menerima konsekuensi atas pernyataannya tersebut.

Ia menegaskan prinsip dasarnya tetap sama. Pria yang mencalonkan diri menjadi Presiden Filipina di Pemilu 2022, walau akhirnya kalah, menambahkan, lebih baik menaati perintah Tuhan daripada menuruti keinginan sesama makhluk hidup. Dari pernyataan Pacquiao jelas bahwa ia sudah siap menerima segala konsekuensinya.  

Mengakhiri jawaban terhadap pertanyaan dalam seminar sore itu, Firsan menekankan, pada intinya, jika kita tidak berjuang untuk hal yang kita inginkan, jangan menangis ketika kita kehilangan. (if you don't fight for what you want, don't cry for what you lose). (jar)