Pentingnya Korporasi Menghindari Blunder Komunikasi

PRINDONESIA.CO | Kamis, 01/02/2024 | 1.153
Menurut Dr. Dedi Kurnia Syah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), blunder komunikasi menjadi hal yang perlu dihindari oleh korporasi agar tidak krisis.
Dok. Pribadi

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion Dr. Dedi Kurnia Syah, manajemen risiko menjadi salah satu kunci menghindari blunder dalam komunikasi korporasi.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Berbeda dengan komunikasi politik, di dalam komunikasi korporasi, praktisi public relations (PR) wajib menghindari blunder. Sebab, kesalahan serius atau memalukan yang disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaian dapat mengakibatkan perusahaan terperosok dalam lembah krisis.

Demikian pernyataan yang disampaikan Dr. Dedi Kurnia Syah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), dalam MAW Talk episode #37 yang dipandu oleh Asmono Wikan, CEO sekaligus founder PR INDONESIA Group, Rabu (31/1/2024).

Menurut Dedi, manajemen risiko menjadi salah satu kunci yang bisa dilakukan oleh PR untuk menghindari blunder dalam komunikasi korporasi. Sementara dalam komunikasi politik, blunder memang dapat menjadi bagian strategi untuk meningkatkan elektabilitas melalui agenda setting. Hal ini dikarenakan, tidak ada manajemen risiko pada komunikasi politik.

Komunikasi yang Tenang

Namun,  Dedi buru-buru menambahkan, manajemen risiko tidak serta-merta membebaskan korporasi dari potensi blunder. Untuk itu, kata pria yang juga merupakan dosen Hubungan Masyarakat di Universitas Telkom ini, PR dapat melakukan beberapa pendekatan. Salah satunya, seperti aksi  blunder yang pernah dilakukan oleh perusahaan roti di Indonesia. Pada saat itu, perusahaan diduga memihak salah satu pihak dalam aksi massa, bahkan sampai mendapat ancaman boikot dari masyarakat.

Ketika itu, perusahaan merespons dengan cara memilih untuk tidak mengelak dari tuduhan masyarakat. Sebaliknya, mereka justru menegaskan keberpihakan korporasi terhadap kemanusiaan. Pendekatan tersebut melahirkan gerakan balasan terhadap boikot yang mendorong masyarakat untuk ramai-ramai memborong produk dari perusahaan tersebut. 

Belajar dari kasus di atas, Dedi menekankan pentingnya PR menyelesaikan masalah melalui komunikasi yang tenang. “Tekanan publik seperti boikot tidak harus dihadapi dengan keras,” katanya. Lebih lanjut, ia mengatakan, PR perlu melakukan komunikasi yang tenang agar permasalahan tidak semakin memburuk dan merusak reputasi korporasi. (jar)