Pendekatan helicopter view dapat membantu praktisi public relations (PR) memecahkan berbagai krisis. Seperti apa?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Setiap praktisi public relations (PR) dituntut bisa memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang (point of view). Sebagaimana diterangkan oleh Staf Humas Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah III Sigit Nugroho, laku ini akan terasa urgensinya ketika praktisi PR harus memilih prioritas dan menentukan strategi dalam menyelesaikan suatu krisis.
Bagi pria yang karib disapa Ugo itu, kemampuan memandang persoalan dari berbagai aspek atau disebut sebagai helicopter view, penting dimiliki praktisi PR karena dapat memberikan gambaran utuh tentang dampak dari tindakan yang bisa diambil. “Kalau saya ambil tindakan ini, bisa berakhir begini. Kalau saya mengangkat ini, maka kejadiannya seperti ini. Sudut pandang kita jadi bisa menentukan persepsi yang akan terjadi,” paparnya saat mengisi kuliah umum di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sektretaris Tarakanita, Jumat (17/5/2024).
Secara konkret, Ugo menjelaskan, setiap aspek dalam suatu peristiwa pemicu krisis adalah prioritas PR. Namun, dengan menerapkan pendekatan helicopter view, menurutnya, praktisi PR dapat menentukan mana yang lebih utama. “Semua hal bisa saja jadi prioritas utama. Namun, kita harus melihat dahulu dari segi mana akan diangkat,” ujarnya.
Lebih jauh, kata pria kelahiran 1997 itu, adanya pendekatan helicopter view mempertegas peran penting PR yang mendasar bagi setiap organisasi, yakni sebagai fasilitator informasi. “Peran ini krusial banget, karena PR akan menjadi pusat informasi bagi organisasi,” imbuhnya.
Tingkah Laku Netizen
Secara tidak langsung, pendekatan helicopter view juga dapat menjadi kunci bagi PR memahami perilaku masyarakat di era digital berikut potensi krisis bagi organisasi. Dalam hal ini, menurut Ugo, ada tiga tipe warganet Indonesia yang perlu dipahami, yakni magis, naif, dan kritis.
Ia menjelaskan, untuk tipe magis punya kecenderungan menghubungkan setiap peristiwa dengan takdir yang maha kuasa. Sementara itu, kelompok naif akan selalu berpikiran buruk. Sedangkan golongan kritis akan mencoba menganalisis penyebab suatu peristiwa tersebut bisa terjadi.
Pemahaman akan tipe tersebut, kata Ugo, dapat membantu praktisi PR mengambil langkah untuk merespons publik ketika terjadi krisis yang sedianya bisa dipicu berbagai hal, mulai dari kesalahan pesan, juru bicara dan kontrol yang kurang tepat, hingga keadaan ekonomi, lingkungan, maupun teknologi. “Jika langkah yang diambil oleh tim PR benar, maka isu buruk dapat diredam dan tidak menjadi krisis,” terang peraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Prof. Dr. Moestopo itu.
Secara umum, lanjut Ugo, pemahaman menyeluruh praktisi PR terhadap isu yang dihadapi dapat berujung pada dua hal penting. “Krisis bisa hilang, atau menjadi potensi,” pungkasnya. (dlw)
- BERITA TERKAIT
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab
- Dorong Kecakapan Komunikasi, Kementerian Ekraf Apresiasi Kelas Humas Muda Vol. 2