GPR Harus Menjembatani Kesenjangan Narasi Hilirisasi antara Pemerintah dan Publik

PRINDONESIA.CO | Kamis, 01/08/2024 | 1.074
Director of Public Affairs Praxis Sofyan Herbowo saat memaparkan hasil penelitian PraxiSurvey IV bertajuk “Sentimen Publik Terhadap Kebijakan Hilirisasi Mineral dan Batubara (Minerba) di Indonesia Tahun 2024”, Rabu (31/7/2024).
Dok. Praxis PR

Hasil survei agensi public relations (PR) Praxis menyimpulkan, sosialisasi pemerintah terfokus kepada isu pertumbuhan dan penciptaan nilai tambah ekonomi sebagai manfaat hilirisasi minerba. Sementara publik lebih menyoal persoalan ruang hidup, lingkungan, sosial, dan eksistensi masyarakat adat.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Agensi public relations (PR) Praxis baru saja merilis hasil penelitian PraxiSurvey IV bertajuk “Sentimen Publik Terhadap Kebijakan Hilirisasi Mineral dan Batubara (Minerba) di Indonesia Tahun 2024”. Penelitian kualitatif deskriptif dengan studi kasus kata kunci “hilirisasi” di media sosial X, Facebook, YouTube, Instagram, dan TikTok sepanjang 1 Januari hingga 30 Juni 2024 itu, menyimpulkan adanya kesenjangan narasi yang mengakibatkan perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat mengenai hilirisasi minerba.

Director of Public Affairs Praxis Sofyan Herbowo menjelaskan, berdasarkan survei yang mencakup 26.142 percakapan media sosial dengan dominasi bersentimen negatif, pihaknya melihat sosialisasi pemerintah terfokus kepada isu pertumbuhan dan penciptaan nilai tambah ekonomi sebagai manfaat hilirisasi. Sementara publik lebih menyoal persoalan ruang hidup, lingkungan, sosial, dan eksistensi masyarakat adat. “Ada kesenjangan besar antara narasi pemerintah dan publik yang menyuarakan keluhan masyarakat terdampak,” ucapnya melalui siaran pers, Rabu (31/7/2024).

Mengamini simpulan survei Praxis, Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi berpandangan, kesenjangan narasi itu muncul karena belum adanya pemahaman yang solid dari pemerintah mengenai konsep hilirisasi. Ia melihat, saat ini masing-masing kementerian masih mempunyai definisi tersendiri tentang upaya peningkatan nilai tambah hasil alam melalui berbagai langkah turunan tersebut. “Kesenjangan ini harus dijembatani oleh strategi komunikasi yang komprehensif,” katanya.

Menambahkan Fahmy, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia berpendapat, kesenjangan narasi hadir karena publik cenderung melihat keberlangsungan hilirisasi hanya dipastikan oleh industri pertambangan. Padahal, katanya, keberhasilan program tersebut turut dipengaruhi ketersediaan industri domestik. “Kesenjangan pemahaman ini perlu dikaji kembali,” paparnya.

Narasi Berimbang

Berangkat dari hasil survei, menurut Sofyan, ada beberapa rekomendasi strategis yang dapat diterapkan pemerintah maupun pelaku industri. Pertama, katanya, melakukan penyusunan narasi hilirisasi minerba, dengan tidak hanya fokus kepada keuntungan ekonomi, tetapi juga biaya eksternalitas maupun dampak lingkungan, sosial, dan lain-lain. “Kami juga merekomendasikan pelaku industri ekstraktif untuk membuka dialog dengan masyarakat, serta melakukan analisa dampak lingkungan dan sosial untuk menghindari kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM,” pungkasnya.

Eksekusi rekomendasi dari Sofyan maupun Fahmy di atas tampak jelas berada di tangan government public relations (PR). Strategi komunikasi yang komprehensif dan narasi berimbang, diyakini dapat menjembatani kesenjangan persepsi mengenai hilirisasi minerba. (lth).