GPR Harus Mulai Memetakan “Stakeholder” Digital

PRINDONESIA.CO | Jumat, 09/08/2024 | 1.555
Dian Agustine Nuriman dalam gelaran acara Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Yogyakarta, tanggal 22-23 Juli 2024.
Via LinkedIn Dian Agustine Nuriman

Menurut founder sekaligus Principal Consultant NAGARU Communication Dian Agustine Nuriman, tanpa pemetaan stakeholder digital, praktisi government public relations (GPR) akan kesulitan mencapai objektif program komunikasi.  

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Pemetaan pemangku kepentingan (stakeholder mapping) untuk mengetahui isu potensial merupakan langkah krusial dalam strategi mitigasi krisis. Dalam hal ini, menurut founder sekaligus Principal Consultant NAGARU Communication Dian Agustine Nuriman, public relations (PR) maupun government public relations (GPR) kini tidak bisa lagi hanya mengarahkan pemetaan kepada stakeholder internal dan eksternal saja.

Perempuan yang juga menjabat Tenaga Ahli Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu mengatakan, GPR dalam tanggung jawab mengomunikasikan kebijakan publik saat ini perlu melakukan pemetaan stakeholder digital. “GPR saya harap sudah mulai detail melakukan stakeholder mapping, agar bisa merancang strategi yang tepat,” ujarnya kepada PR INDONESIA, Jumat (28/6/2024).

Perempuan berdarah Sunda itu menilai penting pemetaan stakeholder digital, karena masyarakat secara umum saat ini seakan sudah “memindahkan hidupnya” ke dunia maya. Oleh karena itu, jika posisi mereka absen dalam perumusan strategi komunikasi, katanya, GPR bisa kesulitan mencapai objektif program. “Kalau nggak melakukan pemetaan stakeholder digital, teman-teman akan kesulitan. Sebab, masyarakat secara eksternal sekarang semua beralih ke platform digital,” terangnya.  

Klasifikasi Stakeholder Digital

Pengajar di Program Pascasarjana Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan Universitas Mercubuana itu menjelaskan, dalam praktiknya pemetaan stakeholder digital dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok. Pertama, pengikut atau subscriber media sosial dapat dikategorikan sebagai pemangku kepentingan di ring satu, karena menjadi pihak yang paling mudah dijangkau, dimonitor, dan dievaluasi.

Pada ring dua, lanjutnya, adalah warganet yang terlibat aktif di setiap unggahan, tetapi tidak mengikuti media sosial instansi. Kemudian pada ring tiga, warganet secara keseluruhan yang dibagi ke dalam kelompok lokal dan nonlokal berdasarkan fokus kebijakan publik. “Misal dalam konteks pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) warganet lokal adalah yang berada di sekitar kawasan, sementara nonlokal yaitu keseluruhan warganet Indonesia,” jelas pemilik zodiak virgo itu.

Dengan memahami para pemangku kepentingan di ranah digital berdasarkan klasifikasinya, Dian menandaskan, GPR akan lebih mudah merumuskan strategi komunikasi yang tepat sesuai karakter dan kecenderungan masing-masing audiens. (lth)