Mengurai Miskonsepsi dan Tantangan Praktik CSR Terkini

PRINDONESIA.CO | Rabu, 14/08/2024 | 2.151
Executive Director Purupiru Sam August Himmawan dalam kunjungan ke kantor PR INDONESIA, Rabu (14/8/2024).
Rahmadian

Menurut Executive Director Purupiru Sam August Himmawan, program berbentuk bakti sosial yang menjadi kekhasan CSR sudah kurang relevan. Kini, perusahan dituntut mengarahkan tujuan program kepada pencapaian SDGs, dengan berpatokan kepada dampak.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Program corporate social responsible (CSR) bukan barang baru di dunia usaha. Meski demikian, agaknya sudut pandang perusahaan dalam menjalankan praktik yang menunjukkan tanggung jawab terhadap aspek lingkungan dan sosial atas operasional bisnis itu, harus mulai digeser. Sebab, menurut Executive Director Purupiru Sam August Himmawan, program berbentuk bakti sosial yang menjadi kekhasan CSR sudah kurang relevan.

Alumnus Universitas Padjajaran tersebut menjelaskan, tujuan utama dari program CSR kiwari hendaknya adalah pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), dengan berpatokan kepada dampak. “Seringkali CSR masih dilihat dari community development saja. Giving. Filantropi itu nggak ada hubungannya dengan bisnis,” ujarnya dalam kunjungan ke kantor PR INDONESIA, Rabu (14/8/2024).

Menyusul itu, jelas Sam, muncul istilah CSV (corporate social value) untuk praktik tanggung jawab perusahaan terhadap aspek ekonomi, lingkungan dan sosial, yang juga memperhatikan dampak terhadap bisnis. Sebagai contoh, sebuah bank menjalankan program CSR dalam bentuk pemberdayaan ekonomi melalui produk perbankannya.

Kelindan pemahaman antara program CSR dan praktik sustainability (keberlanjutan), kini seakan semakin rumit dengan popularitas prinsip environmental, social dan governance (ESG). Padahal, kata Sam, ada perbedaan mendasar pada setiap praktik sekalipun ketiganya bisa dijalankan bersamaan. “Kalau ESG itu (programnya) terkait sudut pandang investor,” imbuhnya. 

Tantangan

Pria yang sempat menjabat Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) itu menerangkan, tidak semua program yang dilabeli CSR sejatinya dapat dikatakan demikian. Penanaman pohon bakau yang kerap menjadi agenda banyak perusahaan, belum tentu dapat dikategorikan sebagai praktik CSR. Demi memastikannya, tambah Sam, perusahaan harus dapat menjelaskan tujuan program tersebut. 

Sam juga menegaskan kalau praktik CSR tidak berhenti di kegiatan dan liputan media. Menurutnya, perusahaan harus pula melakukan pengukuran dan laporan kinerja CSR. Adapun saat ini, Otoritas Jasa Keuangan mewajibkan seluruh perusahaan keuangan di Indonesia membuat Sustainability Report, sedangkan Kementerian BUMN mensyaratkan semua perusahaan pelat merah membuat laporan Social Return on Investment (SROI). Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ikut mewajibkan pelaporan lewat kebijakan yang dinamakan PROPER. 

Dalam konteks komunikasi, Sam menjelaskan, tantangan dalam mengomunikasikan CSR muncul karena sebagian perusahaan menempatkan unit public relations (PR) dan CSR di bawah payung corporate secretary (corsec). “Orang CSR merasa tidak butuh, sementara unit PR bingung komunikasinya dilakukan kepada siapa,” ucapnya.

Merangkum penjelasannya, Sam mengatakan, program CSR kini telah menjadi tanggung jawab seluruh internal perusahaan. Sebab, sebagai upaya mitigasi risiko, keputusan untuk menjalankan CSR  harus didasari oleh risk assessment. “CSR harus menjadi urusan semua orang. Nggak bisa cuma unit CSR yang bekerja,” pungkasnya. (lth)