Menurut Jojo S. Nugroho, Ketua APPRI 2017-2020 dan 2020- 2023, dunia komunikasi menghadapi tantangan etika yang serius dengan adanya berita palsu dan kemajuan teknologi AI. Oleh karena itu, ia menyarankan agar dibentuk kode etik nasional di bawah Kemenkominfo. Seperti apa?
Oleh: Jojo S. Nugroho, Ketua APPRI 2017-2020 dan 2020- 2023, dosen Universitas Indonesia.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Dalam dunia yang dibanjiri oleh informasi, tantangan terbesar bukan hanya menyampaikan pesan yang efektif, tetapi juga memastikan bahwa pesan tersebut disampaikan dengan etika dan integritas. Di Indonesia, bidang kehumasan dan public relations (PR) menghadapi dilema etika yang serius, terutama dengan munculnya berita palsu dan deepfake yang didorong oleh kemajuan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/ AI).
Etika dalam kehumasan bukan hanya tentang mengikuti aturan, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan memelihara integritas. Sebuah studi menunjukkan bahwa sebagian besar warganet di Indonesia telah bertemu dengan berita palsu, menyoroti perlunya pendekatan yang lebih etis dalam berkomunikasi. Dalam praktik kehumasan, ini mencakup transparansi, kejujuran, dan keadilan dalam setiap pesan yang disampaikan.
Namun, tantangan yang dihadapi praktisi kehumasan di Indonesia bukan hanya dari sisi teknologi. Saat ini, Indonesia belum memiliki kode etik kehumasan nasional yang umum. Organisasi kehumasan seperti PERHUMAS, APPRI, Iprahumas, dan FHBUMN, masing-masing memiliki pedoman etika mereka sendiri, namun tidak ada kerangka kerja etika kehumasan yang bersifat nasional dan menyeluruh.
- BERITA TERKAIT
- Kunci Utama Memimpin Tim Tetap Solid di Tengah Krisis Komunikasi
- Demokrasi di Meja Makan
- Peran Pengelolaan “Stakeholder” Mendukung Penerapan ESG dan Keberlanjutan
- Pentingnya Juru Bicara dalam Membangun Kredibilitas IKN
- Begini Rahasia Sukses Konferensi Pers