Jika makan saja harus dibatasi untuk dan atas nama beragam alasan, maka kekuasaan pun demikian. Begitu pikir pendiri sekaligus CEO PR INDONESIA Group Asmono Wikan. Menurutnya, tak ada kekuasaan yang menyejahterakan bagi warga jika dibangun berdasarkan syahwat kenyang laiknya tengah mengunyah makanan.
Oleh: Asmono Wikan, pendiri sekaligus CEO PR INDONESIA Group
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Setiap orang punya porsi masing-masing dalam kehidupannya. Dimulai dari menyantap makanan, misalnya. Ada orang yang baru merasa kenyang jika makan sebanyak dua piring porsi. Tapi, ada orang yang dengan sepiring porsi saja sudah kenyang. Bahkan ada yang cukup hanya dengan setengah porsi.
Daya tampung makanan pada organ lambung setiap orang memang berbeda. Itulah sebabnya, takaran porsi yang dimakan juga berlainan. Maka dari itu menjadi sulit dimengerti tatkala orang mengunyah makanan melampaui porsinya. Jika hanya sesekali masih wajar. Demi alasan sangat lapar, makanannya sangat enak, dan seterusnya.
Namun, menjadi tidak wajar manakala makan dengan porsi berlebih itu berlangsung terus-menerus. Setiap saat tanpa memedulikan momentum dan situasinya. Apakah ini salah? Dari perspektif kepantasan tentu keliru. Kembali pada kalimat di atas tentu ini melampaui porsinya.
- BERITA TERKAIT
- Kunci Utama Memimpin Tim Tetap Solid di Tengah Krisis Komunikasi
- Demokrasi di Meja Makan
- Peran Pengelolaan “Stakeholder” Mendukung Penerapan ESG dan Keberlanjutan
- Pentingnya Juru Bicara dalam Membangun Kredibilitas IKN
- Begini Rahasia Sukses Konferensi Pers