Ramai Isu “Megathrust”, Indonesia Butuh Komunikasi Risiko yang Efektif

PRINDONESIA.CO | Senin, 30/09/2024 | 1.121
Ilustrasi gelombang tsunami.
Photo by lucas andreatta via Pexels

Menurut dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muzayin Nazaruddin, Indonesia sebagai negara dengan predikat rawan bencana sudah seharusnya memiliki komunikasi risiko yang efektif. Namun, kenyataannya, pemerintah acap gagal menyampaikannya kepada masyarakat.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Isu mengenai gempa megathrust yang mengintai kawasan selatan Pulau Jawa kembali ramai diperbincangkan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, setidaknya terdapat 13 zona megahtrust di wilayah Indonesia. Dua di antaranya, yakni zona Mentawai-Siberut dan Selat Sunda, sudah ratusan tahun tidak mengalami gempa tektonik. Kondisi tersebut praktis menjadikan dua zona itu memiliki potensi bencana yang besar jika mengalami gempa.

Di luar isu megathrust, Indonesia sejatinya merupakan negara rawan bencana. Sebut saja salah satunya letusan gunung berapi, atau banjir dan tanah longsor. Meski didaulat sebagai negara rawan bencana, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muzayin Nazaruddin di laman The Conversation, Jumat (27/9/2024) berpendapat, pemerintah sebagai pihak paling berwenang sayangnya acap gagal menyampaikan komunikasi risiko dengan baik kepada masyarakat.

Dampaknya, tulis Muzayin, pemberitaan mengenai bencana di Indonesia acap kali simpang siur. Bahkan, institusi pemerintahan sekalipun sering tak sejalan dalam mengomunikasikan pesan. “Pada medio 2018, misalnya, polisi sempat hendak memidanakan BMKG dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolog (BPPT), karena informasi mengenai ancaman gempa megathrust yang mereka sampaikan, dianggap meresahkan dan merugikan perekonomian lokal,” paparnya mencontohkan.

Padahal, menurut Muzayin, Indonesia sangat memerlukan komunikasi risiko yang efektif. Tujuannya untuk membangun kesadaran dan kesiapsiagaan berkelanjutan, dengan memadukan pengetahuan ilmiah dan budaya lokal.

Komunikasi Risiko yang Efektif

Adapun komunikasi risiko, jelas Muzayin, melibatkan pertukaran informasi dan pandangan mengenai risiko serta faktor-faktor terkait. Dalam penyampaian informasi bencana, lanjutnya, membangun kepercayaan masyarakat adalah elemen kunci. “Kepercayaan yang tinggi terhadap sumber informasi dapat meningkatkan efektivitas komunikasi risiko, dan memengaruhi respons masyarakat terhadap ancaman bencana,” paparnya.

Dalam hal ini, mengutip sejumlah hasil penelitian Muzayin menjelaskan, pemerintah sering dianggap masyarakat sebagai sumber informasi risiko yang paling dipercaya. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa komunikasi risiko harus dijalankan secara fleksibel, agar dapat disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan yang ada.

Fleksibilitas tersebut, imbuh Muzayin, juga dibutuhkan mengingat sampai saat ini tidak ada model komunikasi risiko tertentu yang mujarab untuk semua bentuk krisis. “Setiap krisis membutuhkan pendekatan yang sesuai dengan situasi lokalnya,” pungkasnya. (lth)