Menurut founder Nagaru Communication Dian Agustine Nuriman, praktisi public relations (PR) setidaknya harus memiliki kepekaan yang tinggi, terutama dalam tiga hal. Apa saja?
YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO - Dalam dunia public relations (PR), sense atau kepekaan merupakan faktor penting yang dapat menunjang keberhasilan komunikasi dan upaya membangun reputasi positif. Hal tersebut disampaikan oleh founder Nagaru Communication Dian Agustine Nuriman, saat menjadi pembicara pada sesi workshop dalam rangkaian acara puncak Anugerah HUMAS INDONESIA (AHI) 2024 di Yogyakarta, Kamis (10/10/2024).
Menurut Dian, dengan memiliki kepekaan, praktisi PR dapat terbantu dalam mendeteksi sinyal peringatan akan bahaya krisis di suatu organisasi. Dalam konteks ini, perempuan berdarah Sunda itu menjelaskan, terdapat setidaknya tiga kepekaan dasar yang wajib dimiliki praktisi PR.
Pertama, sense of art yang mengacu pada kemampuan memahami dan menghargai elemen estetika dalam strategi komunikasi. Mulai dari logo, merek, hingga desain yang melekat terhadap brand organisasi. “Ini berkaitan erat dengan peningkatan branding organisasi. Misalnya kreativitas dalam membuat konten yang menarik untuk media sosial,” ujarnya dalam workshop bertajuk “The Power of Social Media: How to Handle Crisis in Social Media” itu.
Selanjutnya, sense of heart. Kepekaan ini, terang Dian, merujuk pada kemampuan praktisi PR untuk memahami, merasakan, dan berempati kepada audiens maupun situasi yang dihadapi organisasi. Menurutnya, kepekaan ini dapat membantu praktisi PR dalam membangun koneksi emosional yang kuat dengan audiens guna meningkatkan kepercayaan pihak eksternal. “Ini akan sangat berguna ketika PR bersinggungan langsung dengan masyarakat lokal, terutama dalam konteks kegiatan corporate social responsibility (CSR), diversity, equity, inclusion (DEI), dan environmental, social, and governance (ESG),” lanjutnya.
Ketiga, sense of hazard yang mengacu pada kemampuan mengenali dan menilai potensi risiko maupun ancaman yang dapat memengaruhi reputasi organisasi. Dengan kemampuan ini, katanya, praktisi PR dapat mengantisipasi terjadinya krisis sedini mungkin. “Kita ini adalah corong organisasi, sehingga penting untuk mengetahui kemungkinan terjadinya krisis,” imbuh peraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta tersebut.
Parameter
Menyimak pemaparan mengenai sense of hazard, salah satu peserta workshop AHI 2024 pun tertarik untuk mengetahui seperti apa indikator utama dalam menentukan level krisis. Dian menjelaskan, dalam konteks kepekeaan terhadap potensi risiko, kemampuan praktisi PR dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi kemungkinan, nantinya akan membawa kepada parameter tersendiri mengenai apa yang dianggap krisis bagi organisasi masing-masing.
Sementara itu, lanjut Dian, sense of hazard sejatinya mencakup beberapa elemen yang berfungsi memproteksi krisis. Elemen tersebut di antaranya threat (ancaman), uncertainty (ketidakpastian), urgency (urgensi), unexpected (tidak terduga), undesirable (tidak diinginkan), unpredictable (tidak dapat diprediksi), dan unthinkable (tidak terbayangkan). (AZA)
- BERITA TERKAIT
- Ketika Program PR Jadi "Kendaraan" PT PLN UID Sulselrabar Melewati Krisis
- Metode "Housing Framework" Bisa Jadi Andalan Penyusunan Pesan Kunci Siaran Pers
- Daftar Lengkap Pemenang AHI 2024
- AHI 2024 Apresiasi 106 Karya Keterbukaan Informasi Terbaik
- “Meracik” Informasi hingga Orkestrasi, Peran Penting Unit PR Badan POM