HOME » EVENT » AWARDS

Citra Vs Reputasi, Praktisi PR Harus Dahulukan yang Mana?

PRINDONESIA.CO | Kamis, 10/10/2024 | 2.995
Founder Nagaru Communication Dian Agustine Nuriman saat menjadi narasumber di acara workshop Anugerah HUMAS INDONESIA (AHI) 2024 di Yogyakarta, Kamis (10/10/2024).
Kevin/PR INDONESIA.

Dalam dunia public relations (PR), citra dan reputasi merupakan dua konsep yang sering dibicarakan. Namun, dalam pencapaiannya mana yang harus didahulukan?

YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO - Bicara tentang dunia public relations (PR), istilah citra dan reputasi hampir dapat dipastikan akan selalu mengemuka. Hal itu karena mengupayakan dua hal tersebut memang merupakan tugas utama praktisi PR. Namun, tak jarang orang menganggap dua istilah tersebut merujuk kepada definisi yang sama.  Padahal, ada pembeda yang kentara antara citra dan reputasi, meski cukup rumit untuk dipahami dalam sekilas.

Secara umum, Rhenald Kasali dalam buku Sembilan Fenomena Bisnis (2005) memaparkan, citra merupakan persepsi terhadap sebuah perusahaan yang direfleksikan dalam asosiasi memori publik atau konsumen. Sementara itu, Dowling R. Grahame dalam penelitian berjudul Corporate Reputations: Should You Compete on Yours? (2003) menyebutkan, reputasi adalah intangible asset atau goodwill perusahaan yang memiliki efek positif pada penilaian pasar atau perusahaan.

Terlepas dari definisi di atas, founder Nagaru Communication Dian Agustine Nuriman menjelaskan, membangun citra dan reputasi bagi organisasi sangat penting untuk dilakukan. Salah satu dari keduanya tidak boleh diabaikan. “Persepsi positif yang muncul dari citra dapat menarik perhatian dan minat audiens. Sementara reputasi akan membentuk kepercayaan yang diperlukan untuk membangun hubungan,” ucapnya di hadapan peserta workshop dalam rangkaian acara puncak Anugerah HUMAS INDONESIA (AHI) 2024 di Yogyakarta, Kamis (10/10/2024).

Dahulukan Citra

Sejalan dengan dampak positif yang dapat dihasilkan citra maupun reputasi bagi organisasi, upaya membangun keduanya tidak bisa dibilang gampang. “Sebelum ada media sosial, suatu perusahaan baru dikenal dan dikatakan bagus reputasinya menunggu hingga 10 tahun,” kata Dian.

Oleh karena itu, perempuan berdarah Sunda itu menyarankan, praktisi PR pada organisasi baru sebaiknya mendahulukan pembentukan citra yang mencakup nama, logo, desain, dan aspek visual lainnya, yang akan membentuk kesan pertama di mata publik. “Citra yang kuat dan menarik akan memabntu organisasi untuk menarik perhatian audiens dan menciptakan minat awal,” imbuhnya.

Setelah citra yang positif terbentuk, organisasi dapat mulai fokus pada pengembangan reputasi. Adapun dalam konteks reputasi, upaya yang perlu digencarkan mencakup konsistensi dalam pelayanan, kualitas produk, hingga strategi komunikasi yang efektif. “Reputasi yang baik tidak hanya berasal dari citra yang ditampilkan, tetapi juga dari pengalaman nyata,” pungkas Dian. (AZA)