Disrupsi Ganggu “Branding”, Apa yang Harus Dilakukan PR?

PRINDONESIA.CO | Rabu, 28/11/2018 | 2.675
Inklusivitas adalah kuncinya.
Hendra/PR INDONESIA

Sejak lahirnya internet ke muka bumi banyak sekali disrupsi di dunia branding. Apa yang harus dilakukan industri, khususnya praktisi public relations (PR) yang berkecimpung didalamnya?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Dunia tak lagi sama semenjak hadirnya internet. Beragam teknologi dan platform berkembang sedemikian rupa dan begitu cepat. “Kondisi ini telah mengubah perilaku kita,” kata Almira Shinantya. Managing Director DM ID saat mengisi acara Disrupto di Jakarta, Sabtu (24/11/2018).

Yang paling kentara perbedaannya, ekslusivitas menjadi sesuatu yang kuno, bukan lagi hal yang membanggakan. Saat ini, inklusivitas adalah kuncinya. “Bisnis berkembang dan dimulai dari kebutuhan serta kolaborasi. Prioritas utama membangun bisnis bukan lagi sekadar untuk mencari uang,” ujar Almira. Minta tolong agar bisa berkolaborasi pun bukan lagi sesuatu yang dipandang negatif. “Sebab tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi kehidupan  banyak orang,” lanjutnya.

Contohlah Skype serta banyak startup atau unicorn lain. Semuanya tumbuh dari kebutuhan. “Keberadaan Skype bermula dari sang founder yang kesulitan berkomunikasi dengan orangtuanya dengan saluran internasional. Pun kalau bisa, biayanya mahal,” kata ibu dari dua anak itu.

Lalu, bagaimana dengan perusahaan  yang sudah memiliki nama besar? Almira menjawab, intinya jangan terjebak dalam suasana nyaman. Ia kembali memberi contoh: Electronic City. Meski merupakan pemain besar di dunia penjualan elektronik, mereka tetap melakukan diagnosis kekuatan serta kelemahan perusahaan. Dari hasil itu mereka bisa mencari teknologi yang tepat untuk menaikkan brand perusahaan. “Dengan mengetahui kekuatan kita, teknologi akhirnya bermanfaat untuk empowering,” ujarnya.

Praktisi PR pun demikian. Disrupsi telah mengubah cara PR bekerja. Dulu, informasi wajib disampaikan  jelas, detail dan panjang lebar. Sekarang? Cara orang menyerap informasi sudah berubah. Mereka butuh informasi sedeherhana, langsung ke intinya, mudah dicerna, dan bermakna (meaningful). Mengapa demikian? “Orang semakin sibuk. Sehingga dalam sekali waktu, mereka ingin dapat terhubung ke dan menyerap banyak hal,” kata Almira seraya memberi ilustrasi kebiasaan kita menonton televisi sembari memegang ponsel. Itu pun layar yang dibuka lebih dari satu. “Kondisi ini menyebabkan, infomasi yang terlalu njlimet semakin tidak banyak dibaca orang,” imbuhnya.

Kesimpulannya, kata Almira, praktisi PR jangan pernah cepat merasa puas. Terus mempelajari perubahan yang terjadi di luar, membuka mata dan terbuka untuk berkolaborasi. “Untuk itulah acara ini ada,” katanya. Selama tiga hari dari tanggal 23 – 25 November 2018, para pelaku industri yang sudah mapan, stratup, venture capital, hingga pemerintah berkumpul untuk saling mengenal, memahami, dan tentu saja, membuka peluang berkolaborasi. “The more you collaborate, the stronger we are,” tutupnya. (rtn)