Menanti Titik Balik Media Cetak

PRINDONESIA.CO | Rabu, 06/03/2019 | 2.925
Dewan Pers ajak SPS mempertahankan eksistensi media cetak dan jurnalisme profesional.
Ratna/PR Indonesia

Ada percakapan menarik saat seluruh pengurus Serikat Perusahaan Pers (SPS) mengadakan rapat pertama pascakongres ke-XXV di Surabaya, awal Februari lalu. Selama masyarakat masih bersosialisasi dan membutuhkan informasi, dunia yang selalu berputar ini akan ada pada satu titik di mana media cetak dibutuhkan kembali.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Rapat yang dipimpin oleh Ketua Umum SPS Alwi Hamu periode 2019 – 2023 itu berlangsung di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (28/2/2019). Di hadapan seluruh pengurus, Alwi meyakinkan bahwa di tengah pasang surut industri pers, terutama media cetak, tidak semuanya terpuruk. Hal ini dibuktikan dengan tumbuhnya beberapa media cetak di daerah. “Sudah menjadi tangung jawab SPS untuk memberikan motivasi kepada seluruh perusahaan pers untuk terus berinovasi dan berkemmbang,” ujarnya. Salah satu caranya, menurut pimpinan grup Fajar, Makassar, itu, adalah meningkatkan kemampuan SDM. 

Hal serupa pun diyakini oleh Tri Agung Kristanto dari KOMPAS. Menurutnya, media cetak akan terus ada, tapi harus disertai inovasi. “Di era saat ini, media cetak tidak mungkin akan hidup terus kalau tidak ditopang oleh platform digital. Sebaliknya, media yang sedari awal lahir dari media cetak, tidak bisa sepenuhnya hanya mengandalkan media digital, lalu meniadakan versi cetaknya,” ujarnya.

Pun kalau media tersebut melebarkan sayapnya ke digital, menurut pria yang akrab disapa Mas Tra ini, seharusnya berbayar. Sebab, berita yang dihadirkan oleh jurnalisme yang kuat itu adalah berita yang terkonfirmasi. Jurnalisme yang jernih itu jurnalisme yang membutuhkan keterlibatan publik. “Untuk itu, dia harus berbayar,” katanya berkesimpulan. 

Yang menarik, ia justru memantau adanya gelagat media cetak akan kembali kepada masa kejayaannya. Business Insider melaporkan ada 2.200 wartawan di Amerika Serikat yang terkena PHK. Namun, yang paling banyak “merumahkan” karyawannya bukan perusahaan media cetak, melainkan media daring. BuzzFeed, media daring yang fokus menebarkan informasi selebritas dan gosip akan melakukan PHK kepada 800 karyawannya. Huffington Post, media berbasis jurnalisme warga, juga akan melakukan hal serupa kepada 200 karyawannya.

Boleh jadi latar belakangnya karena sudah terlalu banyak hoaks dan berita palsu. Kondisi ini membuat masyarakat mulai meninggalkan dunia digital dan memilih kembali membaca media cetak. Hal ini pula yang boleh jadi mendorong para pelaku usaha seperti pemilik Amazon ,Jeff Bezos; Alibaba, Jack Ma; hingga istri mendiang Steve Jobs, Laurene Powell Jobs,  ramai-ramai membeli saham perusahaan media.    

 

Harus Diantisipasi

Kondisi ini tentulah harus diantisipasi. Apalagi di Indonesia, hoaks menyebar begitu melimpah di media sosial. Tumbuhnya media sosial dan media daring pun belum diimbangi oleh trust dari pengiklan. Sehingga, banyak di antara mereka yang berjuang menggunakan rumus clickbait. “Strategi ini ternyata semakin menambah ketidakprcayaan publik kepada informasi yang datang dari platform digital,” kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo yang hadir siang itu. 

Untuk itu, Stanley, begitu ia karib disapa, mengajak SPS untuk terus mempertahankan eksistensi media cetak dan jurnalisme profesional. Sebab, apa pun platformnya, nilai-nilai jurnalisme harus tetap dipertahankan. Ia yakin industri ini tidak akan punah selama manusia masih membutuhkan infromasi. “Siapa yang mengonfirmasi kebenaran informasi kalau bukan wartawan?” katanya seraya bertanya. (rtn)