Tantangan Membangun “Trust” Bagi Pelaku Fintech

PRINDONESIA.CO | Kamis, 21/11/2019 | 4.218
CEO Investree Adrian (kanan), "Kami tidak bisa bergerak sendiri."
Ratna/PR Indonesia

Bagi pelaku startup apalagi yang bergerak di bidang financial technology atau fintech, membangun trust adalah hal yang paling kritikal. Seperti juga dirasakan oleh Investree.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kepada PR INDONESIA, CEO Investree Adrian Gunadi mengungkapkan strategi membangun trust yang sudah pupuk selama empat tahun belakangan semenjak perusahaan tersebut berdiri.

Menurut Adrian, di tengah kondisi bisnis yang serba baru apalagi dengan bermunculannya penipuan berkedok fintech yang merusak reputasi industri membuat on-line marketplace yang mempertemukan antara orang yang memiliki kebutuhan pendanaan (borrower) dengan orang yang bersedia meminjamkan dananya (lender) itu tidak bisa bergerak sendiri. “Kami perlu berkolaborasi, berorganisasi dan aktif di berbagai acara seperti seminar,” kata pria yang ditemui usai menjadi pembicara di acara Endeavor bertajuk Scale Up Asia 2019 di Jakarta, Rabu (20/11/2019).

Menurutnya, melalui cara seperti itulah mereka bisa bertemu dengan semakin banyak orang, memperluas jejaring dan membuka potensi untuk melakukan public speaking. Pada akhirnya dan dengan sendirinya, menjadi top of mind. “Ini juga bagian upaya kami membangun brand awareness,” imbuhnya.

Lainnya yang tak bisa diabaikan adalah, sebagai pelaku fintech, membangun brand awareness tak cukup sekadar beriklan. Harus diikuti dengan semangat mengedukasi secara terus menerus. “Kami rutin mengadakan edukasi, tidak hanya di Jakarta, tapi di luar Jakarta, bahkan hingga Indonesia Timur,” katanya.

 

Regulasi

Membangun trust di industri fintech juga perlu didukung regulasi dan dukungan regulator. “Regulasi itu sudah pasti. Kami bersama asosiasilah yang mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar segera membentuk regulasi terkait fintech lending,” katanya. Akhirnya, keluarlah Peraturan OJK No 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Maka dari itu, ia menggarisbawahi, tidak semua pelaku industri fintech atau startup tidak mau diregulasi. Menurutnya, pelaku startup, termasuk fintech, perlu kerangka kerja (framework) jelas yang diatur dalam regulasi. Framework yang jelas akan meningkatkan kepercayaan diri para investor untuk berinvestasi. Tapi, Adrian buru-buru menambahkan, ruang geraknya juga harus lebar agar tidak menghambat inovasi.

Langkah tadi penting dalam rangka mendukung reputasi. “Kami ingin mencapai reputasi sebagai marketplace platform antara peminjam dengan pemberi pinjaman yang fokus memberikan akses permodalan jangka pendek terhadap UMKM,” imbuhnya.

Bicara soal Endeavor, ini adalah gerakan kewirausahaan global dengan rekam jejak di lebih dari 36 negara dari Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika Utara, Afrika Selatan, Asia, sampai Eropa. Sejak kemunculannya di tahun 1997, Endeavor telah menjadi pelopor di bidang high-impact entrepreneurship.

Di Indonesia, Endeavor hadir tujuh tahun lalu. Selama itu, mereka telah menyeleksi lebih dari 2.000 entrepreneur. Serta, memilih dan mendukung 45 entrepreneur yang memimpin 37 perusahaan. Salah satunya, Investree.  

Adrian mengapresiasi keberadaan Endeavor. Berdasarkan pengalamannya, hal yang paling dibutuhkan startup adalah support system. “Dari Endeavor, kami mendapat mentor yang memberikan validasi dan masukan untuk perbaikan ke depan dan menciptakan lebih besar dampak bagi negara,” katanya.

Menurutnya, keberadaan mentor penting karena dapat meminimalisasi startup melakukan kesalahan, mengubah mindset dari yang tadinya pegawai kantoran jadi wirausaha, fokus pada model bisnis, dan mendorong spirit berkolaborasi. “Yang pasti, kita harus mulai dari bisnis model yang memberikan solusi sesuai kebutuhan masyarakat. Cara inilah yang akan membuat layanan/bisnis kita dicari oleh user," tutupnya. (rtn)