Langkah Tepat Menangani Krisis di Medsos

PRINDONESIA.CO | Senin, 03/02/2020 | 4.066
Isu jika dibiarkan dapat berkembang menjadi krisis
Rizka/PR INDONESIA

Isu di media sosial dapat berkembang menjadi krisis jika tidak ditangani dengan tepat. Bagaimana mengatasinya?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Pesatnya perkembangan media sosial (medsos) membuat publik dengan mudah mendapatkan informasi dan menyalurkan pendapat. Kondisi ini mendorong mereka menjadi semakin kritis terhadap suatu isu. Isu jika dibiarkan dapat berkembang menjadi krisis.

Nah, dalam menghadapi krisis, khususnya di medsos, praktisi public relations dan pucuk pimpinan dilarang panik dan bertindak irasional. Sebab tindakan itu justru berpotensi menimbulkan krisis baru. Seperti yang disampaikan Digital Business Consultant Tuhu Nugraha saat menjadi pembicara seminar "Social Media Crisis" di LSPR Business and Communication Institute, Jakarta, Sabtu (1/2/2020).

Kepada para peserta, Tuhu, begitu ia karib disapa, juga menekankan bahwa krisis yang timbul di medsos sumbernya tak hanya dari eksternal, tapi juga internal.  “Bisa jadi krisis terjadi karena ulah karyawan. Contoh, membocorkan informasi atau mendiskreditkan perusahaan tempat mereka bekerja melalui akun medsos-nya,” ujar pria yang juga merupakan dosen LSPR ini.

Sementara itu, krisis yang terjadi dari eksternal umumnya tidak hanya berasal dari kompetitor. Ada kalanya justru datang dari orang yang sekadar iseng. Oleh karena itu, praktisi PR harus pandai dalam mengidentifikasi isu dan stakeholder terkait.

Identifikasi stakeholder baik yang berpengaruh maupun tidak. Contoh, tanda pagar (hashtag) pemboikotan suatu produk, artis, atau aplikasi. Kini, cara-cara itu tidak lagi murni gerakan masyarakat. Lebih dari itu, bisa jadi bot (program yang khusus dibuat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan otomatis). Contoh lain, nasabah yang mengancam akan membeberkan berita negatif tentang bank. Padahal ia hanya memiliki saldo minimal di bank bersangkutan. Khusus kasus ini semestinya tidak ditanggapi secara reaktif.

Dalam pemaparannya, Tuhu juga menjelaskan delapan tahap menangani krisis di media sosial. Antara lain:

Pengakuan

Di tahap pertama ini, praktisi PR harus menyadari dan mengetahui perusahaan sedang ditimpa krisis. Di tahap ini, praktisi PR harus mampu menentukan social media monitoring yang akan digunakan. Hendaknya PR menggunakan real-time alert. Tujuannya, agar kita dapat memantau banyaknya warganet yang menyebut (mention) perusahaan kita. “Misalnya, kita mendapat pemberitahuan setiap 50 kali mention,” kata Tuhu.

Merespons dengan segera

Tim media sosial harus memiliki jawaban standar yang disampaikan kepada publik segera. Karena jika tidak langsung direspon, maka publik akan panik.

Katakan maaf

Tak dapat dipungkiri, semakin besar perusahaan, semakin besar pula harapan publik terhadap perusahaan tersebut. Penting untuk sebuah perusahaan mengatakan maaf agar tidak merusak reputasi perusahaan tersebut.

Buat FAQ untuk krisis

Pertanyaan yang sering ditanyakan (frequently asked question/FAQ) berfungsi agar publik tidak menduga-duga apa yang sedang terjadi di perusahaan. FAQ juga berfungsi agar tim media sosial tidak berulang kali menjelaskan informasi yang sama setiap ada pertanyaan dari publik.

Bangun kanal untuk dialog

Berikan kesempatan kepada publik untuk dapat melakukan komunikasi dua arah.

Mengetahui kapan suatu isu cukup dijadikan off-line

Kita harus mengetahui siklus suatu isu. Mulai dari sejauh mana perkembangan dari isu tersebut, sudah mereda atau belum, berpotensi menyebar lebih luas atau sebaliknya. “Jika krisis terjadi di media sosial, tidak perlu reaktif mengundang wartawan untuk konferensi pers. Jawab di media sosial saja,”ujar Tuhu.

Gerakkan karyawan

Tujuannya untuk membuat tata cara dalam memberikan jawaban. “Buat standby statement-nya. Tunjuk dan tugaskan siapa yang harus menjawab dan apa saja informasi yang bisa disampaikan ke publik,” terang Tuhu. Selain itu, selalu sertakan narahubung yang dapat dihubungi setiap saat.

Pembelajaran

Setiap menghadapi masalah, jadikan pengalaman tersebut sebagai pembelajaran untuk lebih siap menghadapi krisis di masa yang akan datang. (rvh)