Untuk dapat berkomunikasi dengan baik di masa pandemi, bahkan hingga pascapandemi, kita harus memahami pola-pola interaksi baru yang terbentuk. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik di masa pandemi, bahkan hingga pascapandemi, kita harus memahami pola-pola interaksi baru yang terbentuk.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Pandemi Covid-19 menjadi krisis baru bagi semua negara. Semua negara menempuh trial and error untuk merumuskan kebijakan yang tepat. Tantangan komunikasi yang dihadapi setiap negara juga berbeda-beda.
Internal Association of Business Comunicators (IABC) Indonesia Chapter mengulik pengalaman dari KBRI Jepang dengan mengundang Eko Santoso Junor, Koordinator Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya KBRI Tokyo, di acara gelar wicara virtual, IABC Academy Webinar. Acara yang berlangsung Kamis (14/5/2020) mengangkat tema “Tantangan Komunikasi Internasional di Masa Pandemi: Belajar Dari KBRI di Tokyo, Jepang.
Menurut pria yang sudah bertugas sebagai diplomat RI selama 25 tahun di empat negara itu, komunikasi internasional tidak berjarak terlalu jauh dari interaksi sehari-hari. Hubungan diplomasi yang dilakukan oleh para diplomat di Kedutaan Besar pada dasarnya adalah interaksi. Yang berbeda, ruang lingkupnya lebih besar. Yakni, berhubungan dengan pemerintah dan masyarakat di negara tujuan menjadi representasi Indonesia. Serta, melaksanakan peran aktif Indonesia dalam organisasi dan perjanjian internasional.
Ketika pandemi melanda, peran diplomasi ini terus berjalan. Bahkan menghadapi tantangan yang lebih besar. Sebab, lanjut Eko yang telah mengantongi pengalaman 15 tahun sebagai pengajar Interaction Skills, para diplomat sebagai representasi resmi dari Indonesia harus melakukan sejumlah usaha yang tujuan utamanya melindungi Warga Negara Indonesia (WNI). “Perlindungan terhadap warga negara menjadi prioritas nomor satu. Aspek lain seperti perdagangan, pariwisata, dan sebagainya, nomor dua,” imbuhnya.
Untuk itu, dalam kasus Eko yang mendapat penempatan di Tokyo, Jepang, penting baginya merumuskan kembali jenis-jenis interaksi baru yang kemudian muncul sebagai respons terhadap pandemi.
Pertama, dan yang paling signifikan, tentu berkurangnya kontak fisik. Kedua, meningkatnya ketertarikan terhadap interaksi secara daring (on-line). Ketiga, meningkatnya intensitas bertukar kata saat berinteraksi.
Menurut Eko, kemampuan menyesuaikan diri terhadap pola interaksi baru ini menjadi penting. “Sebab ketika kita berinteraksi, berarti ada pesan yang hendak kita sampaikan. Tetapi, ada jarak fisik yang harus dijaga. Maka, kita perlu memastikan bahwa pesan yang hendak kita sampaikan diterima dengan baik oleh lawan bicara,” ujarnya.
“Respect”
Menurut sosok yang sudah malang melintang menjadi pengajar di bidang penyiaran selama 30 tahun ini, salah satu langkah awal agar pesan tersampaikan dengan baik adalah menyamakan frekuensi kita dengan audiens atau lawan bicara dengan cara mengetahui ekspektasi mereka.
Selanjutnya, kontrol dan perhatikan ekspresi saat berinteraksi. Selalu hargai lawan bicara. “Simulasi berbagai interaksi menghasilkan impresi. Fokus pada impresinya, treat everyone with respect,” ujar Eko. Ia mengatakan, respek atau rasa hormat itu juga dapat ditunjukan melalui gestur, cara berpakaian dan gaya penulisan. (den)
- BERITA TERKAIT
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab
- Dorong Kecakapan Komunikasi, Kementerian Ekraf Apresiasi Kelas Humas Muda Vol. 2