Pandemi telah memberikan banyak hal baru bagi rumah sakit. Terjadi pergeseran perilaku masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan. Pun dengan model bisnisnya. Apa yang harus dilakukan PR?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Kunjungan pasien rawat jalan dan rawat inap menurun tajam hingga lebih dari 50 persen selama pandemi. Salah satu faktornya karena ada stigmatisasi negatif yang melekat baik pada pasien positif Covid-19, tenaga medis, hingga bisnis rumah sakit (RS).
Meski begitu, ada fenomena baru. Akses pelayanan kesehatan melalui telemedicine atau layanan aplikasi telekomunikasi medis jarak jauh meningkat signifikan selama pandemi. Dari yang awalnya hanya 4 juta pengunduh, melonjak menjadi 15 juta pengunduh dengan total 320 ribu pasien pengguna.
Fakta ini terungkap dalam diskusi virtual bertajuk “The New Business Model for Hospital: Strategi Branding di Tengah Pandemik” yang diselenggarakan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Jumat (1/5/2020).
Menurut Anjari Umarjianto, Ketua Kompartemen PR dan Marketing PERSI, pandemi mengubah perilaku konsumen/pasien dalam memilih layanan kesehatan. Masyarakat kini mulai terbiasa melakukan lebih banyak aktivitas di rumah. “Melihat kondisi tersebut, maka perlu ada taktik baru agar bisnis RS tetap berjalan,”ujar pria yang sejak pertengahan Mei lalu mendapat amanah baru sebagai Kabag Hukum, Organisasi dan Hubungan Masyarakat RS Kanker Dharmais.
“Core Value”
Pernyataan Anjari diamini oleh Silih Agung Wisesa, Konsultan Brand Komersial. Menurutnya, semua lini bisnis, tak terkecuali RS, dipaksa untuk melakukan pivot atau mengembangkan bisnis dengan mengubah model bisnisnya. Apalagi selama pandemi RS justru menjadi salah satu tempat yang paling dihindari masyarakat.
Agar RS dapat mempertahankan keberlangsungan bisnis, Silih menekankan pentingnya setiap brand masuk pada core value yang mereka miliki. Langkah pertama yang harus dilakukan ialah membentuk tim gugus tugas pivot bisnis yang bertugas memilih layanan/produk apa saja yang dinilai masih menguntungkan dan tidak menguntungkan selama pandemi Covid-19. Contoh, layanan tes rapid.
Kedua, lakukan scaleup atau cross selling layanan. Ketika apotek RS umumnya hanya menjalankan fungsi distribusi obat-obatan, cobalah untuk menjadi lebih proaktif dengan menawarkan keunggulan obat-obatan yang mampu meningkatkan imunitas tubuh. Dengan catatan, metode pendekatannya secara soft selling. Salah satunya, melalui media sosial.
Lakukan upaya ketiga terkait layanan pengobatan diluar Covid-19. Caranya, berkolaborasi dengan pihak perhotelan atau mal untuk memanfaatkan fasilitas yang dimiliki sebagai tempat pelayanan spesialis. “Ketika orang takut untuk pergi ke RS, lakukan layanan RS itu di hotel,” ujarnya memberi contoh. “Keunggulan RS dibandingkan dengan brand lain, RS mempunyai reputasi yang bagus dengan legitimasi dokter yang kuat,” katanya.
Value preposition ini menjadi satu keunggulan yang dapat dimanfaatkan oleh RS selama masa pandemi Covid-19. Keunggulan inilah yang harus selalu dimunculkan di setiap konten yang dibuat oleh humas. “RS itu sekarang memiliki legitimasi tertinggi ketika terjadi pandemi. Artinya, apapun yang disampaikan oleh kelompok kesehatan pasti masyarakat percaya,” pungkasnya. (ais)
- BERITA TERKAIT
- Tiga Institusi asal Indonesia Jadi Pemenang di Ajang AMEC Awards 2024
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab