Mengindentifikasi “Stakeholder”

PRINDONESIA.CO | Selasa, 21/07/2020 | 3.000
Identifikasi dulu siapa saja stakeholder kita, supaya tidak salah kelola.
Roni/PR Indonesia

Kata “stakeholder” sering dilontarkan dalam berbagai pidato maupun tulisan untuk menunjukkan adanya perhatian suatu organisasi/perusahaan kepada lingkungan sosialnya. Apa makna sebenarnya di balik istilah yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi pemangku kepentingan?

Oleh: Noke Kiroyan, Chairman & Chief Consultant KIROYAN PARTNERS

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Untuk memahami makna stakeholder, kita harus membahasnya secara utuh dan konseptual dalam kerangka stakeholder management secara keseluruhan. Tentu, yang dimaksud bukanlah pengelolaan stakeholders oleh perusahaan atau organisasi karena itu mustahil. Yang dikelola adalah hubungan atau interaksi perusahaan dengan para pemangku kepentingan.

Sebelum melaksanakan interaksi, kita harus mulai dengan mengidentifikasi siapa saja stakeholder kita, supaya tidak salah kelola.  Langkah selanjutnya adalah pemilahan dan pemetaan stakeholder dalam berbagai kategori (stakeholder mapping). Kepentingan atau stake masing-masing pemangku kepentingan ditelaah. Tujuannya, agar kita dapat melakukan engagement, termasuk strategi komunikasi dengan memerhatikan faktor-faktor sosial.

Stakeholder engagement tidak akan bermakna kalau hanya dilakukan satu arah. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk meninjau sikap atau pandangan pemangku kepentingan terhadap organisasi atau permasalahan tertentu, bukan berdasarkan asumsi semata.

Keberadaan perusahaan bergantung kepada para pemangku kepentingan. Pemegang saham adalah salah satu pemangku kepentingan utama (primary stakeholder), tetapi bukan satu-satunya. Ada pemangku kepentingan lain seperti masyarakat di sekitar lokasi perusahaan, para karyawan, pemasok, kreditor, pelanggan, hingga pemerintah. Tanpa dukungan mereka, maka perusahaan tidak dapat berjalan.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejak sekitar dua dasawarsa lalu, stakeholder menjadi inti dari pelaksanaan CSR. Sebab, perusahaan sebesar apapun tidak mungkin diharuskan mengurus kesejahteraan di seluruh dunia. Panduan internasional kegiatan CSR adalah ISO 26000. Di Indonesia menjadi bagian dari Standar Nasional Indonesia yang dikeluarkan Badan Standardisasi Nasional dengan kode SNI ISO 26000:2013. Pelaksanaannya dilaporkan dalam bentuk Laporan Tahunan Perusahaan berdasarkan aturan GRI Standards.

 

Paling Berhak

Professor Archie B. Carroll, sosok terpandang dalam teori CSR, mengatakan stakeholder culture harus ada di perusahaan untuk mengembangkan stakeholder management. Yang dimaksud dengan budaya stakeholder culture ini adalah praktik, falsafah, dan tata nilai dalam menjalankan pengelolaan bisnis berdasarkan pemahaman bahwa pemegang saham bukanlah satu-satunya pihak terpenting dalam perusahaan. Ini mungkin agak sulit diterima oleh perusahaan-perusahaan tertutup. Masih banyak yang beranggapan bahwa pendiri dan pemilik saham adalah yang paling berhak terhadap perusahaan.

Di Indonesia, perusahaan publik atau Tbk mungkin lebih mudah menerima prinsip stakeholder management. Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia mengharuskan perusahaan Tbk memerhatikan kepentingan para stakeholder selain pemegang saham. Mewajibkan penerapan ISO 26000 sampai pelaporan kegiatan CSR yang didasarkan prinsip stakeholder engagement.

Di luar pelaksanaan CSR dalam arti sempit, agaknya masih diperlukan pemahaman lebih mendalam bahwa cakupan stakeholder management sangatlah luas. Yakni, sebagai praktik dan falsafah dalam mengelola perusahaan secara keseluruhan. Keenam bidang yang tercakup dalam ISO 26000, yaitu Hak Asasi Manusia, Praktik Perburuhan, Lingkungan Hidup, Praktik Operasi Jujur dan Berkeadilan, Kepentingan Konsumen, dan yang terakhir Pelibatan serta Pengembangan Masyarakat, yang mencakup segala aspek dalam menjalankan kegiatan perusahaan.