Perhotelan termasuk industri yang terkena hantaman terbesar di masa pandemi Covid-19 ini. Perlu ada strategi khusus yang dilakukan oleh para pelaku public relations (PR) untuk membantu perusahaan dan industri bangkit dari keterpurukan.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Jojo S. Nugroho, Managing Director IMOGEN PR, merangkum tujuh survival kit atau peralatan yang mesti dibawa oleh PR, khususnya PR hotel, di kala pandemi. Ia mengurainya satu per satu saat menjadi pembicara di gathering Himpunan Humas Hotel (H3) Jakarta, Bandung dan Jogjakarta yang diselenggarakan secara virtual, Jumat (24/7/2020).
Pertama, pemetaan pemangku kepentingan (stakeholder). “Hasilnya akan berbeda sebelum dan saat pandemi,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum APPRI ini. Identifikasi ini penting agar PR tahu siapa stakeholder yang menjadi prioritas untuk dirangkul, didekati dan di-engage.
Jojo lantas membuka tabel klasifikasi stakeholder. Kategori pertama, stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi, tapi pengaruhnya kecil terhadap bisnis. Mereka adalah kategori stakeholder yang mesti dijaga. Contoh, pemerintah daerah.
Kategori kedua, stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi dan pengaruhnya tinggi bagi bisnis. Mereka adalah kategori yang relasinya harus dijaga (good relation). “Meski tidak lagi bertamu, tapi komunikasi harus tetap berjalan. Contohnya, pelanggan setia kita,” ujarnya.
Kategori ketiga, stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh sedikit bagi binis. Mereka adalah kategori low priority. Dan, kategori keempat, stakeholder yang memiliki kepentingan kecil, tapi pengaruh besar terhadap bisnis. Mereka adalah kategori yang harus dimonitor.
Kedua, pemetaan isu. Berdasarkan survei Jakpat mengenai seberapa besar dampak Covid-19 memengaruhi kehidupan mereka menunjukkan responden makin peduli terhadap kebersihan (91%), lebih digital (83%), makin peduli kesehatan (64%), memungkinkan mereka untuk menambah kompetensi baru (46%). “Bicaralah kepada loyal customer kita, apa yang mereka butuhkan jika mereka mau kembali datang ke hotel kita,” ujarnya.
“Storytelling”
Ketiga, storytelling. Storytelling selalu menjadi peringkat pertama baik berdasarkan survei dari Global Research Ketchum PR tahun 2012 maupun survei yang dilakukan oleh Global Communication Trends lima tahun mendatang. Pertanyaannya sama: “Apa faktor terpenting yang harus dimiliki untuk dapat mendorong suatu kampenye PR?”
Bedanya, responden pada tahun 2012 menekankan great storytelling. Sementara tahun 2017, digital storytelling. “Tahun 2020, peringkat pertama tetap storytelling, tapi diperkuat data dan fakta,” kata Jojo. Selanjutnya, kemas cerita itu ke dalam bentuk video.
Jojo menekankan, “Pastikan cerita yang diangkat diambil dari kacamata customer,” katanya. Pastikan pula audiens, pesan yang diangkat dan medium yang digunakan sesuai dengan target audiens yang disasar. “Pesannya mungkin sama, tapi cara mengomunikasikan dan kemasannya bisa berbeda-beda tergantung target yang mau kita sasar,” ujarnya.
Keempat, kolaborasi. Di era pandemi, kolaborasi menjadi mata uang yang baru. “Di masa ini, brand harus tampil dengan sumber daya dan kreativitas yang kita miliki. Tapi, jangan jalan sendiri. Berkolaborasilah,” katanya. Ingat, ia melanjutkan, berdasarkan survei Edelman Trust Barometer 2020, sebanyak 71 persen responden akan melupakan brand yang tidak peduli dan hanya memikiran keuntungan selama pandemi.
Kelima, berkomunikasilah dengan penuh kasih sayang dan empati. Keenam, fokus pada solusi bukan jualan. Masih berdasarkan survei Edelman Trust Barometer 2020, 54 persen responden akan mengabaikan kecuali brand yang bersangkutan didesain sedemikian rupa untuk membantu mereka menghadapi pandemi.
Ketujuh, apapun yag terjadi, berhubungan baiklah dengan media. “Saking banyaknya hoaks di media sosial, publik saat ini lebih percaya dengan media konvensional. Diikuti oleh website dan e-mail resmi,” katanya. Ini tampak dari survei yang dilakukan oleh Imogen Communications Institute (ICI).
Sementara isu yang menarik bagi media saat ini adalah dampak pandemi terhadap bisnis, kontribusi yang bisa diberikan perusahaan untuk mengangkat kembali bisnis/industri mereka. Adapun narasumber yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi adalah dokter/yang memiliki otoritas di bidang kesehatan, brand, diikuti CEO. Sebaliknya, selebritas dan influencer, justru ada di peringkat terendah. (rtn)
- BERITA TERKAIT
- Tiga Institusi asal Indonesia Jadi Pemenang di Ajang AMEC Awards 2024
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab