Penerbangan salah satu industri yang rentan dengan krisis. Hal ini pula yang dirasakan oleh Ramaditya Handoko selama ia menjadi Corporate Communications Lion Air Group.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Pria yang menjadi Corporate Communications Lion Air Group dari tahun 2015 hingga 2019 tersebut membagi kisahnya saat mengisi acara di web seminar #SSSTalks 01 bertajuk “Pengelolaan Krisis dalam Dunia Penerbangan”, Senin (20/7/2020).
Tak sedikit dari pengalamannya itu yang memacu adrenalin, bahkan menjadi pengalaman paling berharga bagi hidupnya. Salah satunya, peristiwa dua tahun silam, ketika pesawat JT610 Jakarta – Pangkal Pinang jatuh di perairan Karawang. Saat itu, kata Rama, sapaan karibnya, Lion Air sudah memiliki standard operating procedure (SOP) khusus penanganan krisis.
Mereka juga telah membentuk tim khusus untuk menghadapi krisis dan melakukan pelatihan secara berkala. Sehingga, ketika terjadi krisis, mereka lebih siap. Menurut Rama, SOP sangat dibutuhkan dalam prakrisis. SOP akan meringankan beban kerja tim komunikasi saat krisis terjadi.
Rama mengatakan, ada dua tips ketika berhadapan dengan krisis. Pertama, sebelum berhadapan dengan krisis yang terjadi pada perusahaannya, praktisi public relations (PR) harus terlebih dulu mampu menghadapi krisis di dalam dirinya. “Untuk itu dibutuhkan ketenangan batin, tangan dingin dalam improvisasi dan kejelian dalam membaca situasi,” ujarnya.
Kedua, mengumpulkan banyak data dan akurat. Meski dalam praktiknya langkah ini tak mudah dilakukan di tengah krisis. Padahal data yang akurat ini ibarat senjata dan peluru dalam menghadapi krisis. “Saat kita belum mendapat data, di saat yang sama pula, publik mengharapkan data dari kita. Nah, disitulah tantangannya,” kata Rama.
Tiga Langkah
Pada saat berhadapan dengan krisis jatuhnya pesawat, Rama merangkum tiga langkah yang harus dilakukan bersamaan. Pertama, menghadapi keluarga penumpang. Kedua, menjalin komunikasi dengan rekan-rekan media. Ketiga, bersinergi dengan lintas direktorat untuk menghimpun data yang akurat di lapangan. “Tugas PR selanjutnya, mengonversi bahasa teknis yang sudah kita himpun tadi ke dalam bahasa yang mudah dipahami publik,” imbuhnya.
Di era digital yang memudahkan masyarakat beropini, PR juga berhadapan dengan tantangan yang datang bukan hanya dari media, tapi publik. Bahkan, berpotensi lebih cepat viral. “Jika opini tersebut tidak berpotensi viral, maka praktisi PR dapat melakukan pendekatan personal. Namun jika dampaknya besar dan luas, kita harus melakukan klarifikasi terlebih dahulu lewat konferensi pers maupun siaran pers,” katanya.
Rama memberi contoh saat berita viral Lion Air menjual tiket over capacity. “Penumpang yang tidak mendapat kursi langsung mendokumentasikan dan langsung mengunggahnya ke media sosial,” ujarnya.
Faktanya, ia tak memungkiri memang ada kesalahan dari sisi komunikasi sehingga penumpang tidak mendapat informasi. Namun, ketika itu pihaknya tidak menjual tiket over capacity. Untuk meminimalisasi dampak, langkah yang ia dan tim lakukan ketika itu menyampaikan kronologisnya secara tertulis agar mudah dipahami publik. (rvh)
- BERITA TERKAIT
- Tiga Institusi asal Indonesia Jadi Pemenang di Ajang AMEC Awards 2024
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab