Ramah dan mudah bergaul adalah kesan pertama yang ditangkap dari sosok Denny Abidin, VP Corporate Communications PT Telkomsel. Di tengah kesibukannya yang luar biasa, Abe, begitu sapaan karib Denny Abidin, ia bersedia meluangkan waktunya untuk PR INDONESIA. Ditemui di kantornya di Jakarta, Senin (14/10/2019), kami berbicara panjang lebar.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Banyak cerita yang mengalir selama enam tahun Abe mengarungi peran sebagi PR dan 1,5 tahun menjadi nakhoda untuk unit Corporate Communications Telkomsel. Termasuk tantangan yang harus dihadapi di tengah era keterbukaan dan perkembangan teknologi yang luar biasa masif. Kepada Ratna Kartika, pria kelahiran Bandung, 48 tahun lalu, ini berkisah.
Seperti apa dinamika public relations di industri telko seperti Telkomsel saat ini?
Banyak turbulensi, ya. Terlebih selama kurun waktu 2 – 3 tahun belakangan. Ini dikarenakan bidang teknologi sedang mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sebenarnya kami sudah memprediksi tentang akan ada banyaknya teknologi yang mendisrupsi layanan. Namun, kecepatannya itu yang tidak terukur. Bahkan, datang lebih cepat dari yang kita prediksi.
Contoh, ketika shifting dari 3G ke 4G. Tadinya, kita memprediksi 4G adalah teknologi yang akan dipakai untuk waktu yang lama. Makanya, kita mengenal dengan istilah 4G LTE (long-term evolution). Eh, tahu-tahunya, hanya dalam kurun 4 – 5 tahun semenjak 4G keluar, sudah ada teknologi 5G.
Dampaknya pun sama. Karena kami adalah perusahaan yang memberikan layanan digital komunikasi yang bersifat masif dengan pelanggan lebih dari 170 juta, otomatis ada banyak suara yang harus kita dengar dengan altitude/kedalaman yang lebih detail. Apalagi semenjak lahirnya media sosial, era di mana berakhirnya “no comment”. Begitu PR bilang “no comment”, saat itu pula dia menunjukkan ketidaksiapannya memprediksi sebuah kejadian.
Jadi, kami selaku PR dituntut untuk melakukan segala sesuatunya cepat dan adaptif—bukan lagi agile. Saking banyak inovasi, media platform, layanan-layanan digital, kemampuan adaptif pun menjadi pekerjaan rumah tersendiri.
Bagaimana Anda dan tim menyikapi fenomena tersebut?
Ini menarik. Kami memiliki lebih dari 170 juta pelanggan, dan sebanyak mereka punya hak untuk bersuara menyampaikan kegalauan, kritik dan lain sebagainya. Artinya, dengan adanya komentar hingga berita instan, kami sebagai PR harus siap 24/7, lebih cepat dalam mengambil keputusan, tapi bukan berarti terburu-buru.
Dalam merespons atau mengeluarkan pernyataan, kita harus tahu apa yang akan disampaikan dan siapa yang akan menyampaikan. Jika salah memberikan pernyataan, krisis bisa muncul dalam hitungan 24 detik, bukan lagi 24 jam menunggu koran terbit.
Contoh, ada pelanggan yang sebenarnya bertanya tentang tarif. Dia bertanya lewat medsos. Kami respons tanpa melihat hastag yang disertakan oleh pelanggan tadi. Akhirnya, problem yang tadinya antara person to person menjadi korporat kepada pihak yang di-tag. Masalah jadi membesar.
Yang patut diingat, jejak digital di dunia maya itu tidak bisa hilang. Itulah mengapa, PR sekarang perlu sensitif, kuat secara feeling, dan detail. Ketika ada masalah, pahami betul, jangan menganggap remeh.
- BERITA TERKAIT
- Budi Rahardjo, Kementerian Perhubungan: Berani Mengambil Inisiatif
- Agdya P.P Yogandari, Corporate Secretary VP PT Pelita Air: Dedikasi Tanpa Batas
- Haviez Gautama, Harita Nickel: Komunikasi itu Menenangkan
- Hevearita Gunaryanti Rahayu, Wali Kota Semarang: Mewujudkan Semarang Makin Kompak dan Hebat
- Eviyanti Rofraida, Senior Manager External Communication & Stakeholder Relations PT Pertamina Hulu Energi: Berlayar Bersama Ombak