360 Derajat PR dengan “Marketing”, Beda!

PRINDONESIA.CO | Jumat, 04/09/2020 | 4.446
Marketing dan PR harus berjalan beriringan
Dok. Istimewa

Di dunia marketing maupun public relations (PR), sama-sama memiliki istilah IMC. Tapi keduanya memiliki makna yang berbeda. Apa itu?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Dalam dunia marketing, IMC merupakan akronim dari integrated marketing communications atau komunikasi pemasaran terpadu. Sementara IMC di  dunia PR dikenal sebagai integrated media campaign. “Istilahnya, 360 derajat,” kata  Assistant Vice President External Communications PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Pujo Pramono saat menjadi pembicara di web seminar MAW Talk, Jumat (28/8/2020).  

Nah, 360 derajat dalam marketing berada pada saluran distribusi sedangkan pada PR terletak pada medianya. Praktik PR 360 derajat dapat dilihat dari strategi komunikasinya yang memadukan media konvensional dan digital.

Meski berbeda, kata Pujo, keduanya dapat berjalan beriringan dan berkolaborasi. “Jika ditelusuri dari fungsi dan tugas, PR menangani corporate image dan reputasi. Sementara marketing menjaga kualitas produk tetap baik. Keduanya harus berjalan beriringan,” ujarnya. “Sebab, apabila kualitas produk bagus, dengan sendirinya corporate image pun sama bagusnya. Sebaliknya, dengan image yang terpercaya dan dapat diandalkan, pelanggan tidak ragu menggunakan produk itu,” imbuhnya.

Di Telkom, PR dan marketing secara virtual membentuk komite brand. “PR menunjuk satu brand guardian di masing-masing unit marketing. Tujuannya, mengawal konsistensi pesan perusahaan sampai ke lini produk.

PR 360 Derajat

Untuk mengimplementasikan IMC, PR harus mampu mendefinisikan tujuan perusahaan. Seperti halnya di Telkom, tujuannya adalah mencapai persepsi perusahaan sebagai menjadi perusahaan telekomunikasi digital. “Barulah dibentuk image one look, one voice dan one personification,” katanya.

Ia lantas mengulas satu per satu. One look, yakni cara PR mengatur komunikasi internal agar terlihat satu dan konsisten. One voice, upaya PR melakukan komunikasi eksternal. Sementara one personification adalah upaya PR membentuk satu persepsi tentang Telkom dari pihak luar.

Ketiganya menjadi payung kampanye PR Telkom yang kemudian dijabarkan ke dalam strategi jangka panjang hingga pendek. Setelah itu, PR menentukan tema besar dan target audiens. “Tema tersebut harus disampaikan dengan cara storytelling dan mengandung pesan kunci,” ujarnya. “Jika perlu, PR bekerja sama dengan key opinion leader (KOL) untuk meningkatkan engagement dengan audiens,” imbuhnya.

Terakhir, memetakan saluran komunikasi. Contoh, 50 persen kampanye selama pandemi dilakukan secara digital. Namun, tetap tidak boleh melupakan audiens yang masih menggunakan media konvensional untuk memperoleh informasi. PR-lah yang berperan membagi porsi tersebut.

Lainnya tak kalah penting adalah mengelola berbagai tools, termasuk big data dan data analitik agar efektivitas kampanye dapat terukur. Apalagi saat ini PR harus mampu membuat konten yang relevan dan sesuai personifikasi audiens yang disasar. Mereka juga dituntut harus peka dan cepat menangkap berbagai berita dari media daring dan sosial. “PR harus memiliki sense of digital yang tinggi,” ujarnya. (rvh)