Banyak orang yang meyakini keberadaan agensi PR makin diperlukan di kala pandemi. Di mana hampir semua aktivitas, interaksi hingga komunikasi beralih ke jalur on-line, sementara perusahaan dan brand harus tetap hadir dan reputasi mereka tetap terjaga.
Oleh: Marianne Admardatine, CEO dari H+K Strategies Indonesia
JAKARTA, PR INDONESIA – Beralihnya semua aktivitas ke dalam jaringan (daring) telah mengubah cara agensi public relations (PR) bekerja. Terutama, dalam mencari cara-cara baru untuk mendapatkan data konsumen dan mengumpulkan wawasan (insight) ketika mereka akan mulai membuat suatu kampanye atau ide kreatif berdasarkan perilaku manusia atau target audiensnya (behavior science).
Kondisi ini sebenarnya membuka peluang bagi agensi PR untuk lebih kreatif dalam memberikan ide dan strategi kampanye/komunikasi. Juga, membantu mereka untuk bergerak lebih cepat dan efisien dengan memanfaatkan digital platform.
Sayangnya, sampai saat ini belum banyak yang mampu menerjemahkan data tersebut menjadi sebuah sentimen yang dapat digunakan untuk menceritakan data tersebut secara emosional. Umumnya, mereka masih memaparkan data itu secara mentah.
Padahal dengan memiliki akses terhadap data yang lebih baik, agensi PR seharusnya dapat lebih mumpuni menggunakan data tersebut untuk membuat alur yang lebih akurat dan dipercaya. Pada akhirnya, mampu memengaruhi, menyentuh emosi hingga perasaan para target konsumen. Apalagi setiap data konsumen atau stakeholder merepresentasikan sebuah cerita yang berbeda.
Dalami Perilaku
Behavior science pada dasarnya adalah ilmu yang mendalami kebiasaan konsumen. Kita menganalisis data yang kita dapatkan. Wawasan yang kita peroleh dari behavior science dapat menggambarkan bagaimana cara manusia berpikir dan berperilaku sehari-hari.
Setelah mendapatkan analisis atau insight dari tingkah laku konsumen, kita selanjutnya bisa mengomunikasikan pesan di dalam kampanye dengan strategi yang tepat, menyentuh dan sesuai dengan tingkah laku dan kebiasaan dari target konsumen tersebut.
Contoh, manusia sering kali memiliki perilaku yang tidak rasional. Lihatlah bagaimana mereka tidak selalu memilih produk yang lebih baik atau murah. Atau, karyawan tidak memilih cara bekerja yang efektif. Lainnya, tidak semua dari kita menabung, berolahraga atau makan makanan yang sehat meski kita tahu hal itu baik untuk hidup kita.
Sering kali kita menghadapi kesenjangan antara memiliki niat baik untuk mengubah perilaku, tetapi secara tindakan belum berhasil. Misal, kita berniat mencuci tangan selama 20 detik karena tahu cara ini ampuh menghentikan penyebaran virus Covid-19. Kenyataannya, kita tidak selalu melakukannya saat mencuci tangan. Lantas, bagaimana perusahaan sabun dapat menemukan peluang dan membuat strategi komunikasinya?
Direktur H+K Strategies Bidang Behavioral Science Dan Berry mengatakan, perilaku manusia didasari oleh naluri dan intuisi. Keputusan yang terkadang terkesan diambil secara rasional pun sering kali diambil secara kontekstual. Contoh, menyikat gigi. Kita tanpa sadar melakukannya saat bangun dan sebelum tidur. Diulangi terus setiap hari dikarenakan sudah kebiasaan. Ketika perilaku sudah menjadi sebuah kebiasaan, kemungkinan perilaku tersebut akan bertahan. Sekali lagi, pertanyaan yang sama, dengan insight ini, bagaimana brand pasta gigi terhubung dengan konsumen dan mendorong perilaku yang benar?
Satu lagi fakta menarik mengenai perilaku manusia yang kita kenal dengan istilah IKEA Effect. Yakni, penelitian menunjukan bahwa orang yang terlibat dalam desain atau kreasi suatu produk (personalized product) akan lebih menghargai hal yang mereka beli. Sebab, produk tersebut merupakan hasil dari ide dan kreativitas mereka sendiri.
Semua contoh di atas menandakan bahwa komunikasi yang didasari atas ketertarikan terhadap cara berpikir rasional seseorang tidaklah cukup. Memberikan data mentah tanpa memperhitungkan perilaku manusia juga tidak akan cukup untuk menyentuh perasaan konsumen. Lalu, apa arti semua ini bagi agensi PR?
Menceritakan kisah yang didasari data merupakan kunci. Dalam bertransformasi, agensi PR harus berinvestasi lebih besar di luar para penulis dan editor. Agensi PR harus berinvestasi di data dan analitik. Mereka juga harus menggunakan pengetahuan dari behavior science untuk menghasilkan kualitas komunikasi dengan pendekatan yang lebih baik.
Covid-19 dan dunia setelah pandemi menandakan adanya kebutuhan untuk para brands agar dapat menghasilkan storytelling yang tidak lagi konvesional. Sebab, pengetahuan umum dan awareness akan suatu brand atau produk sudah tidak cukup.
Storytelling yang didasari oleh intuisi dan perasaan saja juga tidak cukup. Penggunaan data untuk memberikan pengaruh lebih terhadap stakeholders dan mendorong perubahan perilaku dan kebiasaan merupakan kunci pokok keberhasilan dari storytelling setiap brand.
- BERITA TERKAIT
- Kunci Utama Memimpin Tim Tetap Solid di Tengah Krisis Komunikasi
- Demokrasi di Meja Makan
- Peran Pengelolaan “Stakeholder” Mendukung Penerapan ESG dan Keberlanjutan
- Pentingnya Juru Bicara dalam Membangun Kredibilitas IKN
- Begini Rahasia Sukses Konferensi Pers