
Banyak sekali mitos seputar public relations (PR) yang masih beredar dan diyakini publik. Apa saja?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Elizabeth Goenawan Ananto, pendiri EGA briefings, membedah berbagai mitos seputar PR tersebut. Salah satunya, PR adalah pekerjaan perempuan. “Banyak yang berpendapat bahwa praktik PR hanya untuk wanita yang penampilannya cantik dan menarik,” katanya saat menutup acara International Public Relations Summit (IPRS), akhir tahun lalu. Ini mitos. Sebab, pada praktiknya, PR memerlukan kepekaan sosial dan ketajaman analisis.
Selain itu, PR hanya dianggap sebagai fungsi teknis. Sementara dalam praktiknya, PR bisa berfungsi teknis, early warning system, bahkan berkembang menjadi satu fungsi yang strategis untuk transformasi dari suatu organisasi.
Mitos lain yang berkembang adalah PR dianggap hanya untuk praktik eksternal. Sementara sekarang sudah tidak lagi ada batasan yang jelas antara internal dengan eksternal. Hal ini dikarenakan, yang terjadi di internal dapat diekspresikan ke luar, dan sebaliknya. Yang terlihat di luar merupakan ekspresi yang ada di dalam.
PR juga dianggap sebagai profesi yang terbuka sehingga siapa saja bisa menjadi PR. Namun, jika mendalami ilmu PR dan melihat PR sebagai profesi, tentunya profesi ini memerlukan pengetahuan (knowledge), kemampuan (skill) dan pemahaman (ability).
Pengertian knowledge di sini adalah pengetahuan mengenai PR, teori dan konsep PR, bagaimana cara PR bekerja, dan masih banyak lagi. Sementara skill dari komunikasi antara lain membuat siaran pers, menulis, storytelling, desain grafis. Adapun ability yang dibutuhkan adalah pemahaman PR untuk menganalisis satu masalah, kemampuan berkolaborasi dengan beberapa fungsi manajemen dengan baik.
Mitos lainnya yang cukup menganggu adalah PR sebagai cost oriented. Banyak orang mengangap PR hanya mengeluarkan biaya dan hasil kerjanya tidak bisa diukur. Sebenarnya, kata Ega, kalau kita menggunakan PR secara efektif, secara strategis, aktivitas yang dilakukan oleh PR justru merupakan investasi sosial.
Pengertian PR
Menurut Ega, PR secara sederhana bisa diartikan sebagai komunikasi antara organisasi kepada publiknya. Praktik PR menjadi bias karena kurangnya pemahaman. “PR bisa menjadi suatu ilmu yang dipelajari secara akademis, sebagai ilmu pengetahuan di kampus dalam program formal dengan induk Ilmu Komunikasi,” katanya.
Di sisi lain, PR bisa juga secara formal sebagai suatu profesi yang menjadi karier seorang praktisi yang melakukan praktik PR sebatas kepada produk komunikasi (technical staff) dan melaksanakan perintah. Atau, sebagai seorang profesional dengan adanya proses dan analisis dengan mentaati kode etik profesi PR.
“Seorang profesional PR tidak bisa bekerja secara terburu-buru karena mereka perlu memprediksi analisis atau dampak dari komunikasi yang dilakukan agar komunikasi yang dilakukan tidak menimbulkan miskomunikasi,” ujarnya. Ia melanjutkan, “Jadi, tergantung dari siapa yang menggunakan jasa dari PR atau siapa yang melakukan jasa itu,” imbuhnya. (rha)
- BERITA TERKAIT
- 3 Kunci yang Harus Dipegang Praktisi “Public Affairs” di Tengah Gejolak Politik
- Ini 3 Kiat Penting Menyuguhkan Presentasi yang Efektif
- Menengok Model Komunikasi Risiko Bencana Alam Melalui “Stakeholder Engagement”
- Belajar dari Banjir Jabodetabek, Pakar Ajak GPR Pakai Rumus 6M=f(3K)
- 4 Kiat Merespons Isu Kebocoran Data