Belajar dari Kasus Eiger

PRINDONESIA.CO | Senin, 01/02/2021 | 7.396
Belajar dari kasus ini, penting adanya kerja sama dan kolaborasi antara multidisiplin dalam suatu organisasi.
Dok. Istimewa

Jumat siang, 29 Januari 2021, jagat Twitter diramaikan oleh tagar Eiger. Warganet murka dengan tindakan Surat Keberatan yang dilayangkan oleh perusahaan tersebut kepada youtuber @duniadian yang mengulas produk mereka. Reputasi brand seketika terancam. Apa yang dapat dipelajari oleh PR dari kasus ini?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Krisis yang sedang mencuat ini dikupas di IG Live milik @bimoprasetio dengan Widyaretna Buenastuti, Director-Senior Consultant Inke Maris & Associates yang telah mengantongi pengalaman sebagai konsultan hukum dan legal director di perusahaan multinasional, sebagai pembicara.

Kasus ini berawal dari Surat Keberatan yang dilayangkan oleh perusahaan kepada konsumen yang mengulas produknya melalui akun YouTube milik konsumen. Sebenarnya, tidak ada yang salah dari ulasannya. Konsumen bahkan memberikan ulasan positif jika ia nyaman menggunakan produk tersebut karena sesuai dengan struktur wajahnya.

Permasalahan muncul ketika ia mendapatkan surat keberatan yang dikirimkan oleh bagian legal dari perusahaan tersebut via e-mail, lima bulan setelah ia mengunggah videonya. Isi dari surat itu adalah keberatan dari segi pengambilan video, adanya suara yang mengganggu, hingga setting lokasi yang dinilai kurang tepat. Karena faktor tersebut, konsumen diminta untuk memperbaiki dan/atau menghapus videonya.

Sontak surat keberatan yang kemudian diunggah oleh konsumen melalui media sosialnya membuat wargenet meradang. Mereka menganggap produsen produk yang berorientasi pada kegiatan mendaki gunung, sepeda motor, dan alam terbuka ini arogan.   

 

Pahami Tugas dan Fungsi

Pertanyaannya, dapatkah legal berkomunikasi langsung dengan konsumen? Menurut Wid, begitu Widyaretna karib disapa, untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus kembali kepada uraian tugas bagian legal, dan fungsinya bagi perusahaan. Antara lain, melakukan antisipasi, mitigasi dan memproteksi perusahaan dari kemungkinan risiko adanya gugatan hukum terhadap perusahaan dan karyawannya. Serta, memastikan perusahaan patuh terhadap aturan hukum yang berlaku. “Jadi, klien (stakeholder) legal itu internal perusahaan,” ujarnya.

Di sisi lain, seperti yang dikutip dari tulisan Wid di situs kliklegal.com berjudul “Bolehkah Orang-Legal Kontak Langsung dengan Konsumen?”, personel legal juga harus memastikan perusahaan memerhatikan hak konsumen sesuai yang tertuang dalam UU Perlindungan Konsumen. 

Merujuk dari uraian di atas, maka ketika suatu bagian/unit melakukan peran di luar tugas dan fungsinya, ada beberapa potensi yang mesti diwaspadai, bahkan bisa jadi merugikan korporasi. Seperti dalam kasus ini. Menurut Wid, ketika bagian legal menyampaikan, sekalipun benar, bisa jadi target yang menerima informasi tersebut menangkapnya dengan persepsi berbeda.

Perlu keahlian khusus bagi praktisi legal untuk dapat mengubah kalimat/bahasa hukum ke dalam bahasa yang mudah dimengerti masyarakat umum. “Pemilihan diksi itu penting sekali,” katanya.

Bagian legal juga identik dengan hukum. Tidak ada orang yang nyaman jika harus berurusan dengan hukum. Perasaan was-was pun sering kali muncul ketika seseorang berhadapan dengan bagian legal. Faktor psikologis inilah yang harus dipahami oleh bagian legal. Jangan sampai tindakannya berpotensi menciderai reputasi perusahaan.  

 

Kolaborasi

Untuk itu, penting adanya kerja sama dan kolaborasi antara multidisiplin dalam suatu organisasi, termasuk dengan unit public relations (PR). Merekalah yang memiliki keahlian untuk menentukan pesan prioritas yang akan disampaikan kepada publik, siapa target audiensnya, siapa yang akan menyampaikan, bagaimana caranya, dengan cara apa, dan melalui kanal apa.

Ya, sebagai bagian dari korporasi, antara multidisiplin harus saling bergaul. Termasuk, antara PR dengan legal. Sehingga, tumbuh perasaan saling memahami mulai dari apa yang menjadi tugas, fungsi hingga concern masing-masing.  

Bersyukur, krisis ini cepat melandai setelah CEO turun tangan menyampaikan surat permohonan maaf. Wid mengapresiasi tindakan cepat, akurat dan konsisten yang dilakukan perusahaan. Pernyataan maaf langsung dari CEO tersebut disampaikan kepada konsumen yang bersangkutan melalui e-mail, dan diseminasikan secara konsisten kepada masyarakat melalui akun media sosial perusahaan.

Akhirnya, mengutip pernyataan konsumen yang merespons permohonan maaf dari sang CEO, “Banyak pelajaran berharga dari kasus ini. Soal PR, branding, handling crisis, dan sebagainya. Semoga jadi pelajaran berharga untuk lebih baik lagi ke depannya.” (rtn)