Plus Minus ChatGPT bagi Praktisi PR

PRINDONESIA.CO | Senin, 13/02/2023 | 2.448
Praktisi PR tidak harus melihat ChatGPT sebagai ancaman, melainkan membawa kemudahan.
Dok. Unsplash/Jonathan Kemper

Di balik ramainya penggunaan ChatGPT, teknologi ini membawa sejumlah manfaat tersendiri bagi praktisi public relations (PR).

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Alih-alih membawa ancaman, ChatGPT diyakini membawa kemudahan bagi praktisi public relations (PR). Ya, tepat di pengujung November 2022, dunia kembali kehadiran aplikasi baru. Aplikasi ini memiliki kemampuan mengobrol secara virtual atau chatbot, yang kemudian dikenal dengan nama ChatGPT. Dikutip dari laman www.tekno.kompas.com, ChatGPT merupakan aplikasi berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang dikembangkan oleh OpenAI, perusahaan yang bergerak dalam pengembangan teknologi AI dan berpusat di Amerika Serikat.

Kehadiran aplikasi ini mendorong kemajuan bagi para pelaku di industri komunikasi. Sebab, memungkinkan penggunanya untuk mengirimkan pertanyaan dan akan dijawab dengan kalimat yang sudah tersusun rapi.

Dengan keunggulannya tersebut, kata Ketua Public Affairs Forum Indonesia (PAFI) Agung Laksamana, dalam opininya yang berjudul “Meramal Masa Depan Media vs AI”,  seperti dikutip dari Bisnis.com, aplikasi ChatGPT ini memudahkan berbagai profesi pekerjaan. Salah satunya, jurnalis.  

Dalam proses melakukan riset untuk melengkapi artikel yang akan ditulisnya, jurnalis bisa bertanya kepada ChatGPT untuk mengetahui isu terkini hingga hal mendasar dari sebuah informasi. “Saya berani mengatakan bahwa 50% hingga 70% proses riset dari seorang jurnalis akan terbantu dengan kehadiran ChatGPT,” ujarnya masih dalam artikel tersebut.

Pun demikian dengan profesi PR. Dalam artikel yang ditulis Andrew Bruce Smith di ProvokeMedia, praktisi PR disarankan menggunakan ChatGPT untuk mengetahui manfaatnya.

Lebih lanjut, dalam tulisan itu juga disebutkan bahwa teknologi ini dapat membantu tim PR agar bisa lebih banyak memfokuskan waktu dan upayanya untuk menghasilkan output yang lebih berharga di tengah volume bekerja pada tenggat waktu yang ketat. Sehingga, mereka mampu memfokuskan waktu dan upaya untuk menghasilkan output yang lebih berharga.

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Morgan Moritz dalam artikel berjudul Is ChatGPT a Threat to Public Relations Professionals? seperti yang dikutip dari Piercom. Disebutkan bahwa praktisi PR harus melihat ChatGPT sebagai platform yang dapat membantu mengembangkan konten daripada menganggapnya sebagai ancaman.

Hal ini lantaran peran PR lebih dari sekadar menulis. Ia melanjutkan, ada tugas praktisi PR yang tidak bisa dilakukan oleh AI. Misalnya, membangun dan memelihara hubungan dengan media, pemangku kepentingan, dan publik.

Yang Perlu Diwaspadai

Di satu sisi, Bernard Marr, penulis bisnis dari Jerman, dalam tulisan di laman resminya berjudul How Dangerous Are ChatGPT and Natural Language Technology for Cybersecurity? Secara kritis mengimbau agar publik pun waspada. Sebab, di balik setiap kemudahan yang diberikan oleh ChatGPT, aplikasi ini juga menghadirkan sisi gelap. Salah satunya, maraknya penipuan.

Menurutnya, ChatGPT yang dirancang sedemikian rupa dan sangat detail, memungkinkan adanya pembuatan e-mail penipuan (phising). ”ChatGPT juga dapat membuat banyak phising yang semuanya dipersonalisasi untuk menargetkan kelompok tertentu, bahkan individu," tulisnya.

Hal ini juga disampaikan dalam laporan berjudul I, Chatbot pada 26 Januari 2023 oleh Recorder Future, perusahaan keamanan siber yang berbasis di Amerika Serikat. Laporan tersebut menuliskan bahwa kemampuan ChatGPT yang secara meyakinkan meniru bahasa manusia, memberikan potensi untuk menjadi alat phishing dan rekayasa sosial yang kuat.

Ancaman paling signifikan dari ChatGPT yang disorot oleh Recorded Future adalah kemampuannya yang dapat dengan mudah menipu dan menyebarkan disinformasi. Jika disalahgunakan, chatbot tersebut mampu menulis konten yang menyesatkan dan meniru kesalahan informasi yang ditulis manusia. (mfp)