HOME » EVENT » PRIA

Pentingnya PR Mengenal Bedanya Krisis, Insiden, dan Keadaan Darurat

PRINDONESIA.CO | Senin, 03/07/2023 | 1.891
Managing Partner Maverick Indonesia Ong Hock Chuan dalam workshop bertajuk “Emerging from Emergencies” di Bali, Kamis (16/3/2023)
Komang/PR INDONESIA

Tidak semua kejadian buruk merupakan krisis. Terkadang kejadian tersebut merupakan insiden atau keadaan darurat yang dapat berkurang dampaknya melalui intervensi manajemen.

BALI, PRINDONESIA.CO - Seiring perkembangan zaman, setiap orang dapat mengakses informasi hanya dalam genggaman. Begitu pula dengan pemberitaan seksi seperti krisis yang dialami oleh perusahaan. Mudahnya akses informasi publik ini terasa mencekam bagi praktisi public relations (PR) sebagai punggawa reputasi korporasi.

Padahal, menurut Managing Partner Maverick Indonesia Ong Hock Chuan dalam workshop bertajuk “Emerging from Emergencies” yang diselenggarakan oleh PR INDONESIA di Bali, Kamis (16/3/2023), tidak semua kejadian buruk yang menimpa korporasi merupakan krisis. Bisa jadi peristiwa tersebut adalah insiden atau keadaan darurat (emergency).

Secara terminologi, kata pria yang karib disapa Ong tersebut, insiden merupakan kejadian yang berangkat dari praktik terbaik (best practice), spesifikasi, atau prosedur yang disepakati. Sedangkan keadaan darurat (emergency) merupakan situasi yang biasanya tidak terduga dan memerlukan intervensi tepat waktu oleh manajemen senior untuk mengurangi dampaknya.

Berbeda dengan kedua hal di atas, krisis merupakan situasi di luar kendali yang masuk dalam pengawasan media, pemerintah, dan pelanggan dari korporasi. “Karena situasinya sangat terlihat di mata masyarakat, maka tekanannya juga sangat tinggi,” ujar Ong. Dalam kondisi ini, sosok yang bertanggung jawab atas terjadinya krisis adalah pimpinan, bukan PR. Sebaliknya, PR hanya bertugas memberikan saran yang berkaitan dengan komunikasi.

Agar keadaan darurat tidak berubah menjadi krisis, Ong melanjutkan, cara penanganan menjadi sangat penting. Jika korporasi mampu menanganinya dengan baik dan tepat, maka bisnis akan berjalan seperti biasa (business as usual). Jika gagal, bisnis mengalami krisis.

3R

Ong memberi contoh kegagalan dalam menangani keadaan darurat yang dialami oleh Holywings. Ketika itu, perusahaan food and beverage ini memberikan promo minuman alkohol gratis kepada pengunjung bernama Muhammad dan Maria. Promo tersebut dianggap melecehkan tokoh suci dalam agama Islam dan Kristen. Promo ini juga menuai kecaman dari politikus dan warganet. Berdasarkan laporan masyarakat, akhirnya polisi menetapkan enam karyawan dari tim kreatif Holywings sebagai tersangka.

Dari peristiwa ini ada tiga hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi PR. Pertama, pada saat itu pimpinan tidak langsung muncul di hadapan publik. Kedua, manajemen tidak meminta maaf dengan tulus, malah menyalahkan karyawan. Ketiga, juru bicara tidak menunjukkan sikap empati. Sebenarnya, kata Ong, kejadian tersebut bisa dihindari dengan rumus 3R. Yakni, regret (menunjukkan penyesalan), reason (menjelaskan kejadian dan penyebab yang sebenarnya), dan remedy (memastikan hal serupa tidak terulang).

Ong lantas membagi kelas ke dalam sembilan kelompok. Kepada setiap tim, ia melempar dua pertanyaan terkait kasus yang menimpa salah satu eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pertama, apakah Menteri Keuangan (Menkeu) menerapkan rumus 3R? Kedua, mengacu dari pendapat di poin pertama, apakah hal ini akan menjadi krisis atau business as usual?

Menurut pendapat Kelompok 6, Menkeu belum mengimplementasikan 3R. Menkeu tidak menyampaikan penyesalan (regret) secara pribadi dan menyampaikan hal esensial untuk menjawab kegusaran publik. Beliau juga dinilai tidak menjelaskan alasan (reason) sebenarnya dan langkah konkret. Dari sisi remedy, di tengah usaha memperbaiki citra organisasi, Menkeu membubarkan klub motor besar Ditjen Pajak, BlastingRijder. Sebab, komunitas ini dianggap dapat memberikan persepsi negatif dan menimbulkan kecurigaan masyarakat mengenai sumber kekayaan pegawai DJP.

Namun, menjadi blunder. Sebab, ketika Kemenkeu meminta bantuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi pegawai Kemenkeu, KPK justru meminta bantuan media massa dan warganet untuk menelusuri dan mengungkap kekayaan tidak wajar para pejabat negara, lalu memviralkannya. Kelompok 6 meyakini adanya ketidaksinkronan ini berpotensi menjadi krisis. (rvh)