Para praktisi komunikasi meyakini bahwa komunikasi yang efektif di tahun politik perlu melibatkan emosi. Bagaimana caranya?
YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO — Strategi bercerita menjadi salah satu strategi yang bisa digunakan oleh praktisi komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan perusahaan kepada publik. Namun, dalam menyusun strategi bercerita ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar komunikasi dapat diterima secara efektif.
Diskusi ini mengemuka di acara workshop yang diselenggarakan oleh MAW Talk dengan tema “Membangun Cerita (Storytelling) dan Komunikasi yang Efektif di Tahun Politik” di Yogyakarta, Kamis (5/9/2023).
Roma TJP Simanjuntak, Head of Corporate Communications PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., yang menjadi pembicara membagikan pengalamannya. Menurutnya, keberhasilan strategi storytelling perlu melibatkan berbagai pihak dengan satu pesan yang sama. Hal ini bertujuan agar pesan yang diterima publik adalah pesan yang akurat dan valid.
Keterlibatan berbagai pihak dalam menyukseskan strategi bercerita ini bukan hanya didorong oleh tim-tim internal perusahaan, namun juga stakeholder eksternal. Yakni, customer atau publik yang disasar oleh perusahaan.
Senada dengan Roma. Corporate Secretary PT Pelita Air Service Agdya Pratami Putri Yogandari bersama timnya berupaya membuat perjalanan konsumen nyaman dan terasa seperti sudah pulang ke rumah. Upaya ini dilakukan untuk membangun sense of belonging dan menciptakan ikatan antara konsumen dengan brand.
Keterlibatan emosi ini, kata Agdya, akan membuat konsumen kembali kepada brand. Bahkan mendorong konsumen membagikan ceritanya secara sukarela. “Di sinilah perlunya interaksi yang aktif antara brand dengan konsumen yang melibatkan emosi,” katanya.
Simpel, namun Elegan
Keterlibatan emosi dalam menyampaikan cerita juga diyakini mampu membantu publik memahami dan merasakan pesan yang ingin disampaikan oleh korporasi. Demikian menurut Grahita Muhammad, VP Corporate Communication PT PLN (Persero). “Kami berupaya menghindari penggunaan kata yang berbunga-bunga atau tampak megah secara berlebihan,” ujarnya. Sebaliknya, mereka lebih memilih menggunakan kalimat yang simpel atau sederhana dan jernih. Sehingga, kalimat yang digunakan menjadi lebih mudah dicerna dan bisa dipahami secara jelas.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memastikan detail secara konkret agar kalimat yang disajikan dapat lebih elegan. Grahita memberi contoh, ketimbang sekadar menulis “Dia orang baik”, kalimat dapat diubah menjadi lebih elegan dengan menambahkan detail seperti “Dia memiliki senyum yang hangat dan tangan yang cekatan untuk membantu orang lain.”
Keterlibatan emosi inilah, menurut alumni Universitas Diponegoro itu, mampu membantu cerita yang dibangun oleh humas menjadi efektif. Meski begitu, tak lupa ia berpesan agar para humas memerhatikan beberapa hal dalam menyusun kalimat efektif di tahun politik seperti sekarang. Antara lain, brand value dan netralitas perusahaan.
Sementara Steve Saerang, Senior Vice President Corporate Communications Indosat Ooredoo Hutchison, menutup sesi workshop ini dengan mengedepankan pentingnya brand tetap relevan dalam konteks politik serta memastikan komunikasi senantiasa mendukung nilai-nilai dan tujuan dari brand.
Menurutnya, membangun komunikasi efektif di musim politik dari sudut pandang brand memerlukan perencanaan dan eksekusi yang cermat. Dengan demikian korporasi dapat memastikan merek tetap relevan dan memberikan dampak positif meski dalam konteks politik. (mto/rtn)
- BERITA TERKAIT
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab
- Dorong Kecakapan Komunikasi, Kementerian Ekraf Apresiasi Kelas Humas Muda Vol. 2