Bagi Firsan Nova, CEO Nexus Risk Mitigation & Strategic Communication, ada tiga cara untuk membangun fondasi public relations (PR) yang kokoh. Apa saja?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Public relations (PR) memegang peran krusial dalam menjaga reputasi organisasi terkait isu-isu yang muncul. Firsan Nova, CEO Nexus Risk Mitigation & Strategic Communication, menyoroti tiga aspek kunci dalam “arena perang” yang harus dikuasai oleh para praktisi PR, saat menjadi pembicara di seminar Corporate Communications Talk (5th Edition), Jakarta, Jumat (15/12/2023).
Firsan menegaskan bahwa PR harus memahami dan menguasai tiga aspek utama ini, yaitu legalitas, narasi, dan relasi. Menurutnya, aspek pertama yang perlu diperhatikan adalah legalitas. Legalitas sering kali menjadi pemicu utama munculnya isu. Bahkan masalah sepele seperti legalitas parkir, misalnya, bisa menjadi katalisator aksi demo dan memberikan tekanan besar pada organisasi.
Selain itu, adanya ketidaksepakatan dalam hal legalitas terkait konflik tanah menunjukkan bahwa PR tidak hanya berurusan dengan masalah bisnis, tetapi juga memiliki peran dalam penyelesaian konflik sosial yang dapat berujung pada kekerasan apabila tidak ditangani dengan baik. “Di berbagai belahan dunia, konflik tanah adalah isu serius yang dapat memicu pembunuhan,” kata pria yang merupakan dosen Pascasarjana Komunikasi Universitas Bakrie.
Perkuat Narasi
Setelah menangani aspek legalitas, PR harus mampu membangun narasi yang kokoh. Di hadapan peserta, Firsan berbagi pengalaman ketika menangani klien dari perusahaan yang bergerak di industri sawit. Ketika itu, perusahaan tersebut sedang goyah karena adanya narasi negatif dari komunitas lokal. Padahal sang CEO dikenal sebagai Indonesia most admired CEO.
“Mengapa masih terguncang?” kata penulis buku PR WAR: Pertarungan Mengalahkan Krisis, Menaklukkan Media, dan Memerangi Simpati Publik itu seraya bertanya. Ia melanjutkan, “Karena mereka kalah dalam perang narasi.” Oleh karena itu, Firsan mengimbau selain memperhatikan legalitas, PR juga harus memastikan organisasi kuat secara narasi.
Ia juga menekankan pentingnya PR untuk tidak meremehkan komunitas kecil. Firsan lantas mengenang kembali kasus yang pernah dialami oleh perbankan asal Tiongkok. Hanya memerlukan dua orang melakukan aksi demo di depan kantor, beritanya langsung menjadi perhatian global, hingga diketahui oleh investor.
Catatan yang ketiga, pentingnya menjaga relasi. “Tidak boleh ada relasi yang diabaikan, apalagi terabaikan,” katanya. Sebab, tidak hanya soal legalitas dan narasi yang kuat, membangun dan mengelola relasi yang kuat juga dapat membantu perusahaan mengatasi berbagai tantangan. Mulai dari masalah dengan media lokal, tekanan dari organisasi nirlaba, hingga pejabat setempat.
Cara membangun relasi yang kuat dengan pihak berwenang bisa menjadi pertanda yang jelas bahwa perusahaan memiliki dukungan yang kuat. Contoh, ketika melakukan kerja sama dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) untuk melakukan pelatihan fisik bagi para karyawan. Aktivitas ini selanjutnya dipublikasikan di media sosial sekaligus untuk menunjukkan “sinyal” bahwa perusahaan memiliki kedekatan dan hubungan yang solid—dalam hal ini dengan lembaga pertahanan dan keamanan negara.
Prinsipnya, kata Firsan, bukan friends with benefit, tetapi friend before benefit. Maksudnya, alangkah baiknya ketika perusahaan sudah menjalin pertemanan dengan berbagai pihak sebelum terjadi urusan yang kompleks. “Jadi, kalau muncul masalah, tinggal dikomunikasikan,” tutupnya. (jar)
- BERITA TERKAIT
- Tiga Institusi asal Indonesia Jadi Pemenang di Ajang AMEC Awards 2024
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab