
Menurut Pakar Komunikasi Usman Kansong, komunikasi birokrasi harus transparan, kolaboratif, dan partisipatif guna menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
TUBAN, PRINDONESIA.CO - Transformasi digital telah mengubah ekosistem birokrasi. Dewasa ini, sistem pemerintahan tidak bisa disebut efektif jika hanya mengandalkan ketangkasan dalam melayani masyarakat. Dibutuhkan komunikasi yang berlandaskan etika. Hal tersebut yang menjadi sorotan utama dalam Kelas Sinergi: Etika Komunikasi Birokrasi gelaran Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Jawa Timur (Jatim), Sabtu (28/6/2025).
Dalam kegiatan daring yang ditujukan menguatkan kapasitas komunikasi aparatur sipil negara (ASN) Provinsi Jatim itu, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) periode 2021-2024 Usman Kansong mengatakan, keterbukaan sebagai inti dari etika komunikasi birokrasi kini menjadi urgensi. “Komunikasi birokrasi itu harus transparan, kolaboratif, dan partisipatif,” tegasnya dikutip dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Tuban, Sabtu (28/6/2025).
Tanpa ketiga elemen tersebut, Usman berpandangan, birokrasi tidak akan berjalan efektif, dan sulit bagi pemerintah untuk bisa membangun hubungan baik dengan publiknya. “Kalau (komunikasinya) tertutup, masyarakat akan menjauh. Jika terbuka, kepercayaan akan tumbuh,” lanjutnya.
Usman juga menjelaskan, sejatinya setiap ASN telah memiliki landasan normatif terkait etika komunikasi birokrasi, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri PAN RB Nomor 30 Tahun 2011. Peraturan tersebut menjelaskan tentang nilai-nilai utama komunikasi birokrasi yang mencakup keterbukaan, kejujuran, objektivitas, integritas, profesionalisme, akuntabilitas, dan etika moral.
Mengubah “High Context Communication”
Menyambung Usman, Kepala Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Pendapatan Daerah (UPT PPD) Trenggalek Yudi K. Akbar mengingatkan, komunikasi birokrasi tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan satu arah atau pola komunikasi top-down yang kaku. Sebaliknya, diperlukan pendekatan komunikasi dua arah yang simetris sesuai teori Grunig & Hunt. “Publik sekarang ingin didengar. Mereka ingin dialog, bukan sekadar disuruh. Kalau birokrasi ingin dipercaya, maka harus bersuara dengan empati, mendengarkan dengan hati,” ujarnya.
Yudi pun menilai, budaya birokrasi Indonesia saat ini masih sarat dengan struktur hierarkis dan pola komunikasi high-context sebagaimana dikaji Edward T. Hall dan Hofstede. Hal tersebut tervalidasi dalam penelitian berjudul Analisis Budaya Komunikasi Pada Organisasi Pemerintah (2016) karya Satria yang menyimpulkan organisasi pemerintah di Indonesia cenderung kolektivis, maskulin, dan memiliki jarak hubungan kekuasaan tinggi. Hal ini memengaruhi gaya komunikasi menjadi sangat formal dan tidak partisipatif.
Oleh karena itu, Yudi berpendapat, transformasi gaya komunikasi yang lebih inklusif dan manusiawi menjadi nilai mutlak. Sementara soal etika komunikasi birokrasi, tegasnya, bukan hanya tentang menyusun kalimat sopan, melainkan niat melayani dengan tulus, proaktif, dan membuka ruang dialog. (eda)
- BERITA TERKAIT
- Menyoroti Keterbukaan, Inti dari Etika Komunikasi Birokrasi yang Jadi Urgensi
- Agustina Ungkap 6 Prioritas Pembangunan Kota Semarang Tahun 2026
- BPJPH Gandeng Mahasiswa Komunikasi Jadi Penggerak Literasi Halal
- Humas Polri Kembangkan Platform “Policetube” untuk Perkuat Kepercayaan Publik
- BNN Kabupaten Belu Gencarkan Kolaborasi “Stakeholder” untuk Perangi Narkoba