Seberapa Penting Reputasi dalam Komunikasi Politik?

PRINDONESIA.CO | Jumat, 02/02/2024 | 1.594
Bagi Dedi Kurnia Syah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), candu komunikasi lebih penting daripada reputasi.
Foto Instagram Ganjar Pranowo

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah Putra, reputasi bukan prioritas dalam komunikasi politik. Priotitasnya adalah melakukan candu komunikasi.

JAKARTA, PRINDONESIA.COKomunikasi dan reputasi merupakan dua hal yang berkaitan erat. Namun, dalam konteks komunikasi politik, reputasi dapat dipisahkan. Fakta tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah Putra.  

Dedi mengatakan, reputasi dalam komunikasi politik tidak menjadi prioritas utama. Menurutnya, seorang politisi tetap dapat mencapai jabatan politik tanpa harus memiliki reputasi yang sangat baik.

Sebaliknya, dosen Hubungan Masyarakat di Universitas Telkom itu menilai, kunci dalam komunikasi politik adalah daya pikat. “Ada istilah yang disebut candu komunikasi,” ujarnya dalam MAW Talk episode #37 bertajuk "Menghindari Blunder Dalam Berkomunikasi" yang diselenggarakan secara daring, Rabu (31/1/2024).

Candu komunikasi, menurut Dedi, adalah strategi untuk memikat publik dengan durasi yang singkat. Hal tersebut bertujuan untuk memikat hati orang lain agar yang bersangkutan dipilih, bukan sekadar dianggap sebagai yang terbaik sebagaimana tujuan reputasi.

Agitasi Politik

Lebih lanjut dijelaskan, salah satu cara membuat candu komunikasi adalah dengan melakukan agitasi politik. Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agitasi diartikan sebagai hasutan kepada orang banyak, yang umumnya dilakukan oleh tokoh atau aktivis partai politik. Pidato yang penuh semangat untuk memengaruhi massa termasuk ke dalam agitasi.

Oleh karena itu, peraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Mercu Buana ini mengatakan, politisi bereputasi baik bisa kalah dengan politisi yang memanfaatkan daya pikat komunikasi melibatkan agitasi, janji politik, hingga penyediaan logistik untuk kampanye, sebagaimana realitas politik di Indonesia saat ini.

Dedi menyampaikan, ada banyak politisi yang kurang populer secara reputasi tetapi berhasil menjadi anggota legislatif selama 25 tahun. Fenomena serupa juga terjadi pada tahun 2019, ketika banyak anggota legislatif baru terpilih menduduki kursi di Senayan, meskipun pengalaman dan reputasinya tidak begitu baik.

Hal tersebut yang kemudian menghadirkan perbedaan antara komunikasi politik dan komunikasi korporasi. Di korporasi, kata Dedi, komunikasi masih mempertimbangkan hal-hal etis, kemampuan persuasif yang baik, dan membangun reputasi agar selalu dipercaya publik. (jar)