Strategi dan Kreativitas Kampanye Pemilu

PRINDONESIA.CO | Rabu, 07/02/2024 | 8.507
Pentingnya kampanye pemilu yang kreatif dan inovatif.
Pexels

Kontestan pemilu harus pandai menyusun strategi kampanye yang kreatif dan inovatif.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Kampanye adalah metode lazim yang dimanfaatkan setiap pemilik produk, jasa, maupun pemilik gagasan untuk menciptakan daya tarik dari calon pembeli/pemilih terhadap produk, jasa, dan gagasan yang dijual. Kampanye membutuhkan perencanaan. Memerlukan strategi yang matang, tak sekadar berbicara menyampaikan apa yang ada di kepala. Membutuhkan pesanpesan relevan dan kemasan yang tepat. Kampanye adalah bentuk komunikasi yang strategis dan terukur.

Merancang kampanye, dengan demikian, adalah sebuah ikhtiar yang sangat serius. Ide kampanye perlu didiskusikan, dipertimbangkan, dan dikelola sebaik mungkin, agar tujuan kampanye bisa digapai. Dalam konteks pemilu, tujuan kampanye adalah merebut suara sebanyak mungkin. Memenangkan kontestasi elektoral dari para pemilih.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat pada pemilu 2024, daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 204.807.222 pemilih. Dari jumlah tersebut, 56 persen di antaranya adalah pemilih muda, kaum milenial dan zenial. Wajah pemilih pada pemilu 2024 memang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Baru kali ini pemilih muda menjadi target utama para kontestan karena populasinya yang lebih besar dibanding pemilih dari Generasi X, baby boomers, dan generasi di atasnya.

Wajah pemilu yang didominasi jumlah pemilih muda lebih banyak, membawa konsekuensi setiap kandidat untuk mengelola kampanye mereka dengan kemasan yang relevan bagi pemilih muda usia. Tim kampanye maupun kandidat tentu memiliki cara tersendiri menyapa anak muda. Dua generasi termuda, Gen X dan milenial, memiliki karakter masingmasing yang unik. Cara berkampanye tidak bisa disamakan, dalam bentuk metode, pesan dan gagasan yang akan disampaikan, bahkan lokasi kampanye sekalipun.

Strategi dan Kreativitas 

Adu kreativitas dalam merancang kampanye pemilu sungguh dibutuhkan. Terutama kampanye calon presiden dan wakil presiden, yang memiliki sumber daya lebih besar masing-masing kandidat, ketimbang kandidat pemilu legislatif. Dengan demikian, semestinya pada pemilu 2024, publik dan calon pemilih dapat menikmati dinamika kampanye yang lebih segar dibanding pemilu sebelumnya, sebagai respons terhadap profil pemilih muda yang lebih banyak.

Bukan sekadar model kampanye yang konservatif. Seperti arak-arakan di jalan, rapat umum yang diikuti massa beragam latar belakang, maupun iklan-iklan di media massa yang menjual janji-janji muluk yang kadang saat terpilih belum tentu dapat direalisasi. Ada kreativitas dan kemasan lebih yang butuh dihadirkan. Mengingat, para kandidat berhadapan dengan calon pemilih yang cerdas sekaligus kritis.

Soal kritis dan terkadang sinis ini, adalah potret dari dinamika percakapan di media sosial. Jika ada kandidat yang salah atau melakukan blunder saat berkampanye, respons sinis pun bertebaran. Walau yang berempati tetaplah ada. Hal itu menunjukkan ketidaksiapan kandidat pemilu dalam mengelola kampanye dengan baik. Pesan-pesan kampanye pun seyogianya harus dikemas secara empatik. Bukan sekadar menuntut empati publik kala salah bicara saat kampanye. (Asmono Wikan)