Di era komunikasi digital yang didominasi teknologi dan AI, praktisi PR harus cerdas memadukan kecerdasan buatan dengan keterampilan strategi yang adaptif. Lantas, bagaimana cara mengasah keterampilan tersebut? Simak berikut ini!
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Dalam lanskap yang serba cepat dan sarat teknologi seperti sekarang, keterampilan teknis saja tidak lagi cukup bagi seorang praktisi komunikasi. Perlu adanya kemampuan memadukan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dengan kecerdasan manusia dalam berpikir strategis, agar praktik komunikasi yang dijalankan menciptakan dampak autentik dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, Co-founder & Director LinkedIn B2B Institute Heath memandang, perubahan pola pikir (mindset shift) merupakan kunci utama. “Agar praktisi komunikasi tidak sekadar menjadi penyampai pesan, tetapi juga arsitek strategi yang memadukan logika, empati, dan kreativitas,” ujarnya.
Untuk itu, Heath membagikan beberapa cara untuk mengasah keterampilan manusia agar tidak kalah dengan AI yang dapat berguna bagi praktisi PR. Dilansir dari PR Daily, Jumat (31/10/2025), berikut uraiannya.
1. Menjalankan dengan Strategi Matang
Menurut Heath, perusahaan kini tidak lagi mencari orang yang “bisa menekan tombol”, tetapi yang tahu “tombol mana yang penting untuk ditekan”. Untuk itu, praktisi PR harus mampu menunjukkan proses berpikir di balik setiap keputusan komunikasi. Alih-alih hanya mengelola media sosial, seorang komunikator strategis justru harus bisa mengembangkan strategi media sosial berbasis wawasan audiens demi meningkatkan engagement.
2. Jadilah Penghubung antara Manusia dan AI
Di era AI, praktisi PR tidak boleh sekadar jadi pengguna teknologi, tetapi kurator strategis yang mampu menafsirkan hasil kerja AI agar tetap relevan secara emosional. Menurut Heath, praktisi PR perlu bisa menyaring hasil AI dan menentukan mana yang benar-benar beresonansi dengan publik. “Misalnya dengan menggunakan AI untuk membaca sentimen audiens, tetapi peran manusia tetap vital untuk menyesuaikan nada pesan dan menjaga konsistensi brand voice,” lanjutnya.
3. Menjadi Arsitek Memori
Dalam dunia dengan miliaran pesan setiap hari, kemampuan menciptakan sesuatu yang diingat adalah sebuah keunggulan kompetitif. Untuk itu, Heath menyarankan, praktisi PR harus bisa menjadi memory architect yaitu perancang pesan yang berkesan dan konsisten.
4. Tunjukkan Adaptabilitas dan Semangat Berkelanjutan
Heath mengungkapkan, para profesional masa kini akan mengalami dua kali lebih banyak perubahan karier dibandingkan generasi sebelumnya. Oleh karena itu, praktisi PR perlu terus mengasah kemampuan lintas platform, memahami data, dan berani bereksperimen dengan teknologi baru seperti AI dan big data.
Pemahaman di atas diharapkan dapat menjadi pengingat bahwa segala kemajuan digital tetap membutuhkan kompetensi nilai dasar komunikasi yang mumpuni untuk menghasilkan produk komunikasi yang berdampak dan berkelanjutan. Semoga informasi ini bermanfaat, ya! (EDA)
- BERITA TERKAIT
- 4 Hal yang Wajib Dimiliki Praktisi Komunikasi di Era AI
- Menentukan Titik Temu Penggunaan AI dalam Praktik PR
- Tentang Membangun Komunikasi Publik yang Terukur dan Terpercaya
- Memastikan “Output” Kinerja Komunikasi yang Berdampak
- Mengurai Tantangan dan Solusi Praktis bagi Praktik PR Hari Ini