Begini Langkah Awal Pelindo Ketika Menghadapi Krisis

PRINDONESIA.CO | Rabu, 24/12/2025
Personal Assistant to Managing Director PT Pelabuhan Indonesia Persero Hafidz Novalsyah dalam acara PR Meet Up & Peluncuran Serial Buku PR INDONESIA di Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, Jakarta, Jumat (19/12/2025).
doc/PR INDONESIA

Menurut Personal Assistant to Managing Director PT Pelabuhan Indonesia Persero Hafidz Novalsyah, kunci penanganan krisis di sektor pelabuhan adalah ketepatan intervensi, pembatasan dampak isu, dan pemulihan kepercayaan secara terukur.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO –  Di balik hiruk-pikuk aktivitas pelabuhan, terdapat tantangan krisis yang membutuhkan ketegasan sekaligus keluwesan dari praktisi komunikasi. Hal ini disampaikan oleh Personal Assistant to Managing Director PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Persero Hafidz Novalsyah, dalam acara PR Meet Up & Peluncuran Serial Buku PR INDONESIA di Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, Jakarta, Jumat (19/12/2025).

Hafidz menjelaskan, hal tersebut berkaitan dengan fakta bahwa Pelindo saat ini mengoperasikan lebih dari 100 pelabuhan perdagangan dari Malahayati hingga Jayapura, dengan ekosistem business to business (B2B) yang kompleks. “Sehingga, ketika ada krisis tidak hanya berdampak pada reputasi perusahaan, tetapi juga langsung menyentuh aspek kepercayaan pelanggan dan regulator,” ujarnya.

Dalam konteks ini, lanjut Hafidz, prioritas utama perusahaan ketika krisis mencuat adalah memastikan pimpinan berada dalam posisi yang aman dan terkendali. Sebab, bagi Pelindo, tegasnya, stabilitas kepemimpinan merupakan keniscayaan karena akan menentukan arah pengambilan keputusan.

Strategi yang Strategis

Selaras dengan itu, pemilihan juru bicara (jubir) juga menjadi perhatian penting Pelindo ketika krisis. Dalam konteks ini, kata Hafidz, juru bicara yang ditetapkan tidak selalu berada di level puncak agar ruang koreksi tetap terbuka jika terjadi kekeliruan pesan. Namun, pemilihan jubir senantiasa didasarkan kepada mereka yang memiliki akses langsung ke general manager, dan punya pemahaman situasi yang menyeluruh.

Secara garis besar, tegas Hafidz, langkah awal penanganan krisis di Pelindo selalu dimulai dari identifikasi masalah secara presisi, termasuk mengaitkan pain point yang muncul dengan objektif perusahaan. Setelah itu, isu harus diisolasi dan dibatasi agar tidak melebar, baik dari sisi anggaran maupun sumber daya manusia. “Tahap berikutnya adalah melakukan reduksi dampak melalui dukungan pihak ketiga sebagai endorser, hingga masuk ke fase pemulihan organisasi yang dimulai dari kepercayaan internal yang menjadi modal,” jelasnya.

Dalam sesi tanya jawab, Hafidz juga menyinggung dilema yang kerap dihadapi praktisi komunikasi ketika isu atau krisis berbenturan dengan regulasi perusahaan. Oleh karena itu, ia mengajak praktisi PR untuk tidak hanya berpikiran lurus, tetapi harus bisa “berdansa” dalam pemikiran guna menghadapi situasi yang berkembang. (EDA)