Peran praktisi public relations (PR) kiwari adalah menghadirkan nilai dan menjaga makna untuk menguatkan kepercayaan audiens bukan mengejar popularitas.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Di tengah lanskap komunikasi hari ini, public relations (PR) berbicara tentang kepercayaan, tanggung jawab, dan makna. Hal tersebut tergambarkan dari pengalaman Head of Corporate Communication PT Pyridam Farma Tbk Leilanie Nadia Kusumaputri dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Direktorat Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Cecep Somantri, dalam penjurian PR INDONESIA Awards (PRIA) 2026 kategori Insan PR, Kamis (18/12/2025).
Leilanie Nadia misalnya, menjelaskan bahwa komunikasi di sektor farmasi hari ini tidak lagi sebatas mengelola narasi perusahaan, tetapi sudah menyentuh sesuatu yang lebih mendasar yaitu memastikan publik percaya bahwa hak dasar mereka atas kesehatan yang berkualitas benar-benar diperjuangkan. “Berbekal pengalaman selama 13 tahun di dunia komunikasi, saya memahami bahwa kerangka besar komunikasi pada dasarnya sama dari waktu ke waktu, yang membedakan hanyalah audiens, pesan, dan kanal yang digunakan,” ujar sosok yang karib disapa Nadia itu.
Saat dipercaya memimpin fungsi komunikasi korporat, lanjut Nadia, ia menyadari bahwa tugas utamanya bukan mengendalikan reputasi, tetapi menjaga kepercayaan atas hak dasar kesehatan. “Dengan menerapkan lima pilar sebagai fokus utama, kita mencoba menggeser peran PR bukan tentang awareness saja tetapi akurasi pada setiap informasi, setiap program memiliki makna, dan setiap interaksi menghadirkan kedekatan emosional dan menjadi nilai bagi perusahaan,” jelasnya.
Bukan Panggung Popularitas dan Viralitas
Di sisi lain, nilai yang sama juga dipegang oleh Cecep Somantri. Dalam perspektifnya, peran PR bukan lagi popularitas atau viralitas, tetapi tanggung jawab, makna, dan legitimasi institusi yang lahir dari kerja sehari-hari. Pandangan itu ia dasarkan pada pengalaman menangani komunikasi di unit yang baru berdiri, ketika berhadapan dengan isu-isu sensitif yang menyangkut pendidikan anak-anak dengan layanan kebutuhan khusus. “Di titik inilah empati, kehati-hatian, dan integritas menjadi fondasi utama. Dan PR bukan sekadar penyampai informasi, tetapi penjaga makna yang menghubungkan organisasi, media, dan publik,” ujarnya.
Dalam membangun relasi dengan media, menurut Cecep, dewasa ini tidak bisa lagi dilakukan dengan pendekatan transaksional. Hubungan, tegasnya, harus dibangun secara jangka panjang berlandaskan kepercayaan dan pemahaman. Dengan itu, katanya, media tidak hanya diposisikan sebagai kanal pemberitaan, tetapi mitra dalam menerjemahkan kebijakan agar lebih dipahami masyarakat.
Selaras dengan itu, tambah Cecep, internal relations juga perlu menjadi perhatian. Oleh karena itu dirinya menginisiasi pertemuan rutin bertajuk Sinergi Istimewa Awal Pekan yang memberi ruang dialog, klarifikasi, serta penyelarasan pesan di lingkungan internal. “Dengan begitu, setiap kebijakan pimpinan dapat dikomunikasikan secara jelas, konsisten, dan tepat sasaran. Aktivitas digital kemudian hadir sebagai perpanjangan dari upaya membangun relasi, bukan sebagai alat untuk sekadar mengejar perhatian,” tandasnya. (EDA)
- BERITA TERKAIT
- Menjaga Makna Pesan Organisasi demi Menguatkan Kepercayaan
- Belajar dari Stratkom DPMPTSP DKI Jakarta yang Menang di PRIA 2025
- Catatan Juri Insan PR PRIA 2026: Perkembangan Peran PR
- Penjurian Insan PR PRIA 2026: Menjaga Amanah Publik di Tengah Ledakan Krisis
- Penjurian Insan PR PRIA 2026: Merangkai Nada Komunikasi Lintas Generasi