Berkaca Pada Sumatera, Dompet Dhuafa Dorong Komunikasi yang Tepat dan Empatik

PRINDONESIA.CO | Selasa, 30/12/2025
Dompet Dhuafa menyelenggarakan Good Talk Off Air bertajuk Merespons Bencana dengan Tepat dan Empatik, di Sasana Budaya Rumah Kita Dompet, Jakarta, pada Rabu (17/12/2025).
doc/Dompet Dhuafa

Melalui acara Good Talk Off Air bertajuk Merespons Bencana dengan Tepat dan Empatik, Dompet Dhuafa mengajak para pemangku kepentingan untuk berefleksi dan mengevaluasi pola komunikasi saat krisis.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO –  Sebagai respons terhadap rentetan bencana alam yang melanda Indonesia menjelang akhir tahun 2025, Dompet Dhuafa menyelenggarakan Good Talk Off Air bertajuk Merespons Bencana dengan Tepat dan Empatik, di Sasana Budaya Rumah Kita Dompet, Jakarta, pada Rabu (17/12/2025).

Disampaikan oleh General Manager Marketing Communication Dompet Dhuafa Suci Nuzleni Qadarsih, acara tersebut menjadi ruang refleksi penting bagi para pemangku kepentingan untuk mengevaluasi pola komunikasi saat krisis, sekaligus cara Dompet Dhuafa mendorong pendekatan komunikasi yang lebih manusiawi. “(Sebab) dalam kondisi bencana, informasi bukan hanya harus tepat dan bertanggung jawab, tetapi (juga harus) penuh empati,” ujarnya.

Menyambung Suci, pakar komunikasi bencana dan dosen LSPR Muhammad Hidayat menekankan, komunikasi menghadapi bencana tidak hanya terjadi saat bencana datang, tetapi harus direncanakan jauh sebelum itu. Menurutnya, terdapat tiga tahapan komunikasi bencana yaitu sebelum, saat, dan pascabencana yang perlu dipahami dan dijalankan secara komprehensif agar informasi tersampaikan dengan baik.

Hidayat juga mengingatkan pentingnya kehadiran juru bicara yang terlatih, agar pesan yang disampaikan antarinstansi konsisten dan tidak memicu kebingungan publik. Selain itu, ia juga menegaskan penting bagi pemerintah untuk bersikap jujur saat menghadapi krisis sehingga masyarakat tidak berpijak pada harapan palsu. “Jangan sampai ketidakpastian tinggi, kita malah kasih harapan. Kalau ada masalah di lapangan, kita jujur aja. Kita sama-sama tahu di lapangan seperti apa,” terangnya.

Beroposisi dengan Realitas

Senada dengan Hidayat, Ketua Disaster Crisis Center Dompet Dhuafa Udhi Tri Kurniawan  menilai, seringkali respons pemerintah kurang selaras atau beroposisi dengan realitas di lapangan. Ia mengambil contoh pada bencana Sumatera beberapa waktu lalu, ketika seorang pejabat mengatakan bencana yang terjadi hanya menyeramkan di media sosial.

Hal yang sama juga ditegaskan oleh dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Slamet Riyadi Silvi Aris Arlinda. Menurutnya, kesalahan umum yang paling sering terjadi adalah lambatnya komunikasi institusi atau lembaga dalam menghadapi krisis. Padahal, di tengah situasi genting, masyarakat menunggu kejelasan. “Siapa yang bertanggung jawab, bagaimana kondisi korban, dan langkah apa yang diambil agar tragedi serupa tidak terulang,” tutupnya menegaskan hal penting yang harus dipastikan pemerintah di situasi krisis bencana. (EDA)