Membaca Peluang dari Gerakan Boikot di Indonesia

PRINDONESIA.CO | Senin, 26/08/2024
General Manager H-Three Hakuhodo International Indonesia Shafiq Muljanto.
Tangkapan Layar APPRI

Menurut General Manager H-Three Hakuhodo International Indonesia Shafiq Muljanto, setidaknya ada empat peluang dan pembelajaran penting dari gerakan boikot yang belakangan marak. Apa saja?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Gerakan boikot terhadap merek tertentu yang diduga terafiliasi dengan Israel belakangan masif digencarkan publik. Dalam perkembangannya, aksi tersebut kemudian membawa efek domino dan perubahan tren konsumsi masyarakat Indonesia.

General Manager H-Three Hakuhodo International Indonesia Shafiq Muljanto mengatakan, terpantau ada tiga perubahan paling kentara dari pola konsumsi masyarakat hari ini. Pertama, preferensi terhadap suatu produk tidak lagi terbatas. Kedua, masyarakat mulai mempertimbangkan nilai yang dianut perusahaan. Ketiga, adanya polarisasi reaksi.

Untuk perubahan pertama, jelas Shafiq, dibuktikan dengan kecenderungan masyarakat untuk mencari pengganti produk yang diboikot sehingga memunculkan pilihan alternatif. “Kemudian masyarakat mulai mempertimbangkan ‘value’ perusahaan. Ketika ada kesamaan, baru mereka mempertimbangkan pembelian,” paparnya dalam acara APPRI Connect, Kamis (15/8/2024).

Mengenai polarisasi reaksi, Shafiq menerangkan, masyarakat hari ini punya kecenderungan untuk mendengarkan pendapat dari orang yang menganut nilai serupa dalam membeli produk. “Kini mereka telah memiliki referensi pilihan brand sendiri,” imbuhnya.

Pembelajaran

Terlepas dari perubahan yang terjadi, Shafiq menyampaikan, setidaknya ada empat peluang dan pembelajaran penting dari gerakan boikot yang belakangan marak.

1. Jangan Membawa Agenda Politik

Kepada pemilik merek di luar sana, Shafiq menekankan untuk tidak mengaitkan aktivasi penjualan dengan agenda politik maupun isu sensitif.

2. Tantangan Regenerasi Konsumen

Berdasarkan riset Trend Driver bertema ‘’The Domino Effect of Boycott’’ yang dilakukan Hakuhodo pada 2023, Shafiq menjelaskan, ada empat tipe konsumen berdasarkan perilaku boikotnya. Pertama pemboikot total, kemudian pemboikot parsial (swing dan pragmatic), dan mereka yang tidak memboikot. “Komunikasi kepada tipe total dari Gen Alpha atau Gen Z harus diperhatikan,’’ ucap Shafiq mengingat generasi tersebut punya kecenderungan tidak akan memilih brand yang sama di masa depan, jika sudah memboikotnya di masa kini.

3. Peluang Mengembalikan Kepercayaan

Dari hasil riset yang sama, persentase pemboikot yang betul-betul hardcore hanya 25 persen. Dengan ini, Shafiq mengatakan, perusahaan sejatinya punya peluang untuk mengembalikan kepercayaan publik. ‘’Masih ada peluang konsumen kembali membeli brand jika konflik usai. Di lain sisi mereka tidak melupakan kualitas brand,’’ katanya.

Dalam konteks mengembalikan kepercayaan publik, Shafiq sekaligus menjawab pertanyaan salah satu peserta diskusi menjelaskan, aksi langsung bernilai sosial hingga ke akar rumput dapat menjadi salah satu cara. Sebaliknya, tahan diri untuk menggencarkan narasi tandingan terhadap persepsi publik.

4. Sampaikan Pesan Sesuai Nilai di Masyarakat

Menyampaikan pesan atau kampanye sesuai nilai yang dianut masyarakat Indonesia, tandas Shafiq, adalah pelajaran penting lainnya yang bisa dipetik pemilik brand dari gerakan boikot beberapa waktu belakangan. (Aly)