Miskonsepsi Soal PR dan Hal yang Harus Diperhatikan dalam Adaptasi Digital

PRINDONESIA.CO | Jumat, 30/08/2024 | 1.605
Founding Director EGA Briefings Elizabeth Goenawan Ananto dalam Diskusi PR Bersama EGA #34 bertajuk “PR Image Problem: Beyond Communication” secara daring, Kamis (29/8/2024).
Tangkapan layar/Zoom

Menurut Founding Director EGA Briefings Elizabeth Goenawan Ananto, PR merupakan sesuatu yang sistematik dan terorganisir untuk jangka panjang. Bukan hanya soal teknis dan bersifat ad hoc sebagaimana komunikasi.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Meski peran public relations (PR) semakin dibutuhkan di organisasi, tetapi miskonsepsi terhadap fungsinya masih dapat ditemukan hari ini. Tak jarang masyarakat dan bahkan praktisi sendiri kerap menyamakan praktik PR dengan komunikasi. Padahal, menurut Founding Director EGA Briefings Elizabeth Goenawan Ananto, PR jauh melampaui komunikasi.  

Perempuan yang karib disapa Ega itu menjelaskan, aktivitas PR memang tidak bisa berjalan tanpa komunikasi. Namun, bukan berarti keduanya sama. “PR itu serangkaian kegiatan yang intinya approach dengan target akhir transformasi atau sharing value kepada masyarakat,” jelasnya dalam Diskusi PR Bersama EGA #34 bertajuk “PR Image Problem: Beyond Communication” secara daring, Kamis (29/8/2024).

Sementara jika menyederhanakan PR sebagai komunikasi, lanjutnya, maka aktivitasnya semata akan berorientasi kepada aksi. Padahal, PR merupakan sesuatu yang sistematik dan terorganisir untuk jangka panjang. Bukan hanya soal teknis dan bersifat ad hoc. “Jadi, tidak semua yang berkomunikasi itu bisa disebut PR,” tegasnya.

Jangan Terlalu Heboh

Dalam konteks Indonesia Ega menilai, yang lebih menonjol dari peran PR adalah untuk branding institusi. Hal tersebut menciptakan kesan bahwa komunikasi eksternal adalah segalanya. Sejatinya, katanya, komunikasi internal juga harus lebih disoroti dengan konsep-konsep mutakhir agar PR semakin strategis. “Tidak melulu ekspos keluar, tetapi juga berbenah di dalam. Ini berkaitan dengan value, yang tidak bisa kita minta media massa untuk menciptakannya,” terangnya.

Komunikasi eksternal yang tidak diimbangi dengan aktivasi ke dalam, lanjut Ega, juga akan menjadikan PR tampak terlalu heboh. Dalam konteks kekinian, imbuhnya, adaptasi dunia digital oleh PR seakan meningkatkan volume kehebohan tersebut. Oleh karena itu, mengingat adaptasi digital telah menjadi keharusan, ia menekankan agar PR dapat menetapkan kebijaksanaan dan etika dalam penggunaannya, termasuk menguatkan komunikasi internal. “Sekarang pesan internal itu bisa keluar. Tembok aja bisa bicara. Makanya, intelegensi PR harus ditingkatkan agar jangan ada ‘bocor alus’,” ujarnya.

Sejalan dengan itu, tandasnya, PR hari ini harus menjadi generalis-spesialis. Anggapan bahwa PR  bisa menangani segala macam persoalan bahkan di luar cakupan kerjanya harus dihentikan. “Misalnya, soal ESG tidak bisa lagi dipegang oleh PR. Kalau di luar negeri sekarang itu sudah ada yang namanya sustainable officer,” pungkasnya. (lth)