Magdalena Wenas: “Officium Nobile” di Pundak PR (Bag. 2)

PRINDONESIA.CO | Selasa, 01/08/2017 | 3.010
di era
Bey/PR Indonesia

Magdalena Wenas, founder M-PR sekaligus Presiden PR Society Indonesia yang dikenal penuh semangat dan ceplas-ceplos itu membuat obrolan tanpa terasa sudah berlalu lebih dari satu jam. Kepada Ratna Kartika, Ricky Iskandar, dan Mellisa Indah Purnamasari dari PR INDONESIA, mengalir topik mulai dari isu, tren PR yang ditengarai bakal menonjol tahun ini, harapannya bagi para PR muda, hingga mimpi yang sedang dia bangun. Berikut petikannya.

Menurut Anda, sudah sejauh mana pemahaman praktisi PR kita?
Pemahaman PR kita umumnya masih terbuai di pucuk gunung es. Yang terlihat yang "manis2-manis" saja, belum menyentuh sampai ke kedalamaman manajemen strategis komunikasi seperti membuat guidelines, training dan support, content planning, melakukan social research, monitoring, audience analysis, social capacity, measurement, return of investment (ROI), social media objectives, stakeholder participations, dan banyak lagi.

Apa faktornya?
Karena struktur organisasi yang kadang tidak memadai bagi PR untuk bisa berfungsi secara profesional. Posisinya yang nun jauh di sana dari posisi strategis organisasi, sampai-sampai top management tidak terjangkau, membuat tidak terjadinya integrated communication di suatu organisasi.  

Meminjam istilah yang disematkan kepada advokat, officium nobile (posisi terhormat), sudah waktunya PR sebagai komunikator menjadi profesi yang terhormat. PR harus mempunyai kedudukan strategis dalam struktur organisasi. Kami tidak copy paste dalam menyusun strategi komunikasi, tidak bicara bohong, kita tahu apa tujuan dan latar belakangnya.

Jangan lupa, kontribusi PR itu banyak. PR berkontribusi membuat publik sadar terhadap organisasi yang bersangkutan.

Tentu, pada prinsipnya kalau kita mau dihormati, hormatilah dulu diri sendiri. Dengan cara apa? Kembangkan kemampuan dengan edukasi dan pemahaman media literasi abad 21. Relearn hal-hal baru, unlearn hal-hal lama yang sudah tidak valid. PR malas dan arogan sudah lewat masanya.  Belajar dan belajar lagi.

Saya juga demikian. Apalagi  di zaman hyper connected society seperti sekarang di mana PR dan marketing sudah blend. Kita mesti belajar bagaimana marketing masuk ke dalam PR dan bagaimana marketing melihat PR sebagai bagian yang bisa diajak bekerja sama. 

Makanya, saya berharap PR INDONESIA melalui aktivitas dan program-programnya bisa mendorong PR-PR kita ke arah sana—menguasai PR sampai kedalamaman manajemen strategis komunikasi. Selain itu, jadilah proactive PR. Berikan apa yang dibutuhkan oleh top management  sehingga nantinya mereka menyadari keberadaan kita dibutuhkan. 

Di mana letak kekurangan PR yang menurut Anda paling penting untuk ditingkatkan?
Yang perlu ditingkatkan dari PR kita adalah mengembangkan kemampuan menganalisa. Saya menyebutnya, the sixth sense. Untuk mengasah kemampuan menganalisa tidak perlu menjadi pakar, mulailah dari menganalisa dirimu, keluargamu, klienmu, sampai perubahan yang ada di sekelilingmu.

Kita akan menemukan semua orang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya kita jaga, sedangkan kekurangannya kita analisa "kenapa", kemudian tingkatkan. Nantinya, kita akan sampai pada karakter. Nah, karakter itu akan lari ke reputasi.

Selain mengasah sixth sense, saran apa lagi yang bisa Anda berikan kepada praktisi PR di Indonesia untuk menjadi a good PR?
Tidak hanya a good PR, tapi harus menjadi PR yang dapat dipercaya dan kredibel. Apalagi sekarang kita hidup di era paradoks. Dengan mudahnya orang terbawa aliran paradoks yang bertentangan atau melanggar aturan. Kalau saya mendapati calon klien seperti itu, lebih baik berteman saja, tapi saya enggak mau jadi konsultannya. 

Jadi, kalau mau jadi PR, pesan saya, jadilah PR yang baik, berkarakter, dan hyper connected society. Tempatkan PR di posisi yang terhormat.  Mereka juga harus memiliki passion di bidang PR dan berani menjawab tantangan.

Selanjutnya?
Hasil dari karakter adalah reputasi. Tapi, bukan sekadar reputasi. PR saat ini dituntut mampu membangun reputasi off-line juga on-line dengan memahami Search Engine Reputation Management (SERM).

PR tidak boleh hanya fokus mengelola media mainstream, tapi juga medium yang akan membentuk reputasi kita di on-line. Seperti, media sosial, consumer generated media, search engines. Termasuk, mampu membuktikannya dengan pengukuran, enggak omdo (omong doang).

Ada kalanya, reputasi off-line perusahaan A sudah bagus, tapi reputasinya di on-line di-bully terus. Nah, zaman sekarang enggak boleh gitu. 

Kenapa? Karena satu rumor sederhana dapat dengan cepat memberikan reputasi buruk untuk bisnis kita. Belakangan ini makin banyak perusahaan yang membentuk SERM. Mereka akan secara proaktif melindungi merek atau reputasi perusahaan dari konten-konten yang berpotensi merusak reputasi perusahaan.

Beberapa perusahaan bahkan secara aktif menggunakan taktik ini, sebagai upaya untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkan dari website atau Blog yang berisi berita atau informasi bohong atau menyesatkan tentang perusahaan mereka yang dibuat oleh konsumen. Sementara sebagian lain dipercaya dibuat oleh pesaing. 

Kalau boleh dibilang, profesi PR di zaman sekarang jauh lebih menantang ya?
Bukan hanya jauh lebih menantang, tapi lebih menarik dan menyenangkan. Malah menurut saya, di era hyper connected society, pekerjaan PR jadi lebih mudah karena kalian punya medium yang tidak terbatas.

Mau menyampaikan informasi, tinggal lempar ke Twitter, Line, Facebook, disesuaikan dengan kriteria publik yang mau kita tuju. Tapi, kontennya harus dipersiapkan dengan matang, jangan sampai menyinggung atau menyakiti pihak lain, dan mudah diserap. 

Dulu, mana bisa saya begitu? Kalau mau ngecek sesuatu, misalnya, kita harus ke media, kementerian, dan banyak lagi. Sekarang, tinggal touch button, selesai.   

Seperti apa tren PR di tahun 2017?
Tren cara mengatasi hoax. Di era seperti sekarang, kita akan mengalami krisis setiap hari. Kita tidak akan lagi masuk ke dalam suatu kondisi yang namanya equilibrium (keseimbangan) seperti yang pernah dialami  20 – 30 tahun lalu.

Karena kondisinya seperti itu, PR di abad 21 dituntut selalu waspada, memahami organisasinya, jangan “jual” gunung es, harus mau turun ke bawah (internal), cerdas menyaring informasi, pandai menganalisa, dan mampu mengelola persepsi masyarakat hyper connected.  

Omong-omong, apa pandangan Anda tentang krisis?
Selama 40 tahun berkecimpung di dunia PR, saya sudah mengalami banyak hal mulai dari terseok-seok sampai dipukul-bangun lagi. Jadi, saya merasa, saya besar karena krisis. Hampir semua orang tidak menyukai krisis, tapi saya bisa membuat krisis itu menjadi bagian hidup dan pelajaran hidup. 

Bank Summa merupakan salah satu masterpiece saya. Krisis yang dialami Bank Summa ketika itu membuka mata saya bahwa buku manapun yang kamu baca boleh jadi referensi tapi belum tentu jadi karakter. Makanya, tadi saya menyinggung soal pentingnya PR berkarakter. Jangan lihat PR-nya, tapi beri karakter pada PR itu. 

Pemerintah sedang gencar merealisasikan nation branding. Langkah apa yang sebaiknya mereka lakukan?
Intinya, harus ada lead communicators.

Apakah leader-nya harus dari latar belakang komunikasi? Kementerian Komunikasi dan Informatika, misalnya?
Boleh saja. Yang pe­nting dia sebagai leader memiliki jiwa pemimpin karena dia harus mampu membuat orkestra yang solid mulai dari management communications, marketing communications, hingga country communications.

Membentuk nation branding juga harus didiskusikan, dilakukan bersama-sama juga satu suara.  Ahli-ahli strategis dari PR, marketing, antropologi, lintas kementerian, departemen membuat blue print yang membumi, mampu menyentuh dan merangkul seluruh stakeholders serta publik di negeri ini.

Tidak mudah, tapi mungkin jika kita mau meninggalkan ego primordialisme, apalagi di abad sosial media seperti sekarang. 

Kalau yang sekarang, kan, enggak begitu. Publik diajak berpikir segmented. Kalau seperti itu, kapan nation branding akan terwujud?

Padahal, kalau dari segi komuikasi, saya memuji langkah Presiden Joko Widodo. Sejak tidak ada lagi Kementerian Penerangan dan Setneg (Sekretariat Negara) tidak punya communication office, Presiden kemudian melantik Johan Budi sebagai Juru Bicara Presiden dan beberapa communicator lain yang mem-back-up. Meski, belum berfungsi penuh sebagai communications office of the state seperti yang ada di Amerika, saya menyambut positif. 

Saya juga mengapresiasi Deputi IV Bidang Komu­­­­­­nikasi Politik Kantor Staf Presiden yang mau turun ke bawah, membaur dengan komuitas PR seperti yang saya lihat waktu di acara JAMMPIRO #2 di Yogyakarta  dan aktivitas PR INDONESIA lainnya.

Bagaimana Anda melihat keberadaan komunitas PR yang terus bertumbuh?
Biarkan saja mereka terus bertumbuh, tapi ada payungnya. Sebab, menurut saya, yang jadi persoalan sekarang karena tidak ada yang memayungi, kita seperti anak ayam kehilangan induk.  

Komunitas ya­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­ng lain juga ­begitu. Kalau ada orga­nisasi atau komuitas baru mu­n­cul, jangan lantas jadi marah, dong. Memang perlu kedewasaa­n­, sih. Apalagi karakter orang berbeda-beda.

Apa rencana Anda bersama PR Society?
Keberadaan PR Society sudah jelas. Kami organisasi yang merangkul semua komunikator, tidak hanya PR, tapi juga human resources, investor relations, pokoknya semua relations yang urusannya dengan komunikasi. PR INDONESIA juga ke depannya bisa dikembangkan ke arah sana. Kata kuncinya, komunikasi, think tank.

Sementara untuk aktivitas dan program-programnya tinggal diteruskan. Salah satunya, program sertifikasi PR yang sudah berjalan sejak 2003.

Aktivitas berkualitas apa yang Anda lakukan di waktu senggang?
Membaca, terutama di pagi hari. Saya termasuk "orang pagi hari". Saya bisa menyelesaikan 4 - 6 tugas di pagi hari. Di atas jam 1 siang sudah malas. Bagi saya, me time itu setiap hari. Waktu enggak pernah bikin kita sibuk, cuma kitanya aja yang enggak bisa mengelola.

Seperti apa dukungan keluarga terhadap aktivitas Anda sebagai PR?
Kami keluarga yang demokratis dan pluralis. Yang penting, orang rumah tahu ke mana tujuan kita di luar rumah. Dulu, karena belum ada telepon dan Whatsapp, maka untuk megetahui aktivitas masing-masing di luar rumah kami memanfaatkan whiteboard.

Kalau dilihat dari kesibukan Anda, tampaknya Anda belum akan pensiun dalam waktu dekat?
Ha-ha-ha! Bagaimana, ya, PR itu sudah menjadi bagian dari passion saya. Padahal, proses saya menemukan passion di bidang PR ­itu juga tidak sengaja, lho­. S1 saya Psikologi, mengenal PR pun karena waktu bekerja dulu saya tidak mau ditempatkan di HRD (Human Resources Development). Ketika mulai menjalani aktivitas sebagai PR pun awalnya belajar secara otodidak.

Sekarang aktivitas saya malah bertambah, nengok cucu. Saya punya dua cucu, satunya perempuan. Mungkin karena selama ini saya tidak punya anak perempuan, jadi ketika sekarang  punya cucu perempuan, kayaknya, tuh, lucu aja gitu, bisa dikasih pita, baju bisa kembar.  Sementara waktu zaman saya ngurus dua anak laki-laki, paling hanya didandanin baju sama kaos kaki. 
  
Masih ada mimpi yang belum tercapai?
Buku. Saya lagi bikin buku yang isinya kombinasi antara biografi, pengalaman pribadi, kenyataan hidup, pencerahaan, PR, dan komunikasi. Proses pengerjaannya sudah mencapai 30 persen, paling enggak sudah bikin dekadenya. Ha-ha-ha.

Lewat buku inilah saya ingin mewarisi legacy, terutama kepada penerus PR. rtn