BCA Kembali Raih Puncak Top 50 Most Valuable Indonesian Brands 2017

PRINDONESIA.CO | Jumat, 11/08/2017 | 1.161
Membangun kepercayaan itu harus dimulai dari rumah (internal).
Ratna/PR Indonesia

Prestasi ini sekaligus menjadi kado ulang tahun Bank Central Asia (BCA) yang ke-60.  

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Menjadi merek yang memiliki brand value di mata dan hati konsumen merupakan intangible asset (aset tidak berwujud) dari suatu institusi. Maka jangan heran jika keberhasilan BCA meraih posisi puncak Top 50 Most Valuable Indonesian Brands 2017 menjadi kado terindah bagi perusahaan yang tahun ini tepat menginjak usia ke-60.  

Menurut Santoso, Direktur BCA, ada banyak manfaat tak ternilai yang diperoleh suatu institusi ketika mereka mampu mempertahankan kesehatan nilai mereknya. Seperti yang telah dirasakan BCA. Dampaknya, mulai dari kemudahan dalam melakukan akuisisi dan engagement. "Ketika kita melakukan penawaran, kita sudah dipersepsikan sebagai institusi yang memiliki produk dan layanan berkualitas," ujarnya di hadapan para pewarta di Jakarta, Rabu (9/8/2017).  

Hal ini dibuktikan dari bisnis BCA yang terus bertumbuh. Di tengah kondisi perlambatan ekonomi yang berkepanjangan, misalnya, secara valuable, bisnis BCA tumbuh 13 persen dibandingkan tahun lalu. Nilai merek yang baik juga berimbas pada sisi volume penjualan yang semakin meningkat dan kemudahan mendapatkan nasabah baru. Ia memberi contoh, pertumbuhan kartu kredit industri perbankan yang secara volume umumnya menurun, BCA justru naik sekitar empat persen. “Outstanding mencapai 18 persen, costumer base kami tumbuh 9-10 persen sementara perbankan lain, negatif," bebernya. 

Ia lantas bersyukur. Itu artinya, cara mereka berkomunikasi, ketekunan membina engagement dengan nasabah membuahkan hasil. Kondisi ini semakin memacu perusahaan yang memiliki slogan "Senantiasa di Sisi Anda" itu untuk selalu memberikan yang terbaik kepada nasabah, stakeholder dan shareholder. "Intinya, kita harus memiliki product purposes yang jelas, mengetahui kapan costumer membutuhkan produk tersebut," tambah Santoso. 

Meski sudah diakui, ternyata bukan perkara mudah bagi BCA mempertahankan posisi itu.  Apalagi, faktanya mereka behadapan dengan dua tier nasabah yang berbeda. Tier pertama merupakan pelanggan senior berusia 45  60 tahun. Generasi ini tidak mudah menerima metode teknologi digital. Perilakunya pun tergolong masih suka datang ke kantor cabang, berkomunikasi secara tatap muka, tidak terlalu gandrung dengan media sosial. "Tapi kontribusi mereka terhadap bisnis kita terbesar, 60 - 70 persen," katanya mengaku. 

Sebaliknya, mereka juga harus berhadapan dengan pelanggan usia muda. Generasi inilah yang mendorong BCA untuk memberikan kemudahan membuka rekening tanpa harus ke bank dan berinovasi memberikan berbagai kemudahan lainnya. "Saat ini, 67 persen transaksi dilakukan melalui saluran elektronik," ujarnya. Meski memiliki karakter berbeda, keduanya tetap terlayani. Intinya, kata Santoso, institusi harus mengetahi apa yang diharapkan, diperlukan dan yang membuat konsumen puas.  

Lainnya tak kalah penting: membangun engagement di kalangan internal. "Membangun kepercayaan itu harus dimulai dari rumah (internal)," ujar Santoso berkesimpulan. Untuk mewujudkan itu, BCA rela mengubah budaya perusahaan. "Kami membuka pintu-pintu yang memungkinkan terjadi silo di dalam," imbuh Santoso. Upaya ini membawa BCA menjadi perusahaan Indonesia pertama yang memiliki skor engagement tertinggi, yakni  4,5 dari 5 versi Gallup.  rtn