Pemanfaatan Teknologi Butuh Momentum yang Tepat

PRINDONESIA.CO | Selasa, 17/09/2019 | 3.293
Menurut JK, tidak semua negara perlu menerapkan perkembangan teknologi 4.0, lantaran setiap negara memiliki karakter, positioning, dan kebutuhan berbedabeda.
Dok. Istimewa

“Sudah terlalu banyak seminar tentang Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. Tapi masih sangat sedikit orang yang mengimplementasikannya.“

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Kalimat di atas meluncur dari Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, di Jakarta, Kamis (11/7/2019). JK, demikian panggilan karib sang Wapres, memang prihatin dengan inflasi seminar namun minimnya penerapan dari teknologi generasi 4.0 dalam praktik industri maupun sosial di tanah air. Sejujurnya, menurut JK, tidak semua negara perlu menerapkan perkembangan teknologi 4.0, lantaran setiap negara memiliki karakter, positioning, dan kebutuhan berbedabeda.

“Jika semua negara menerapkan teknologi generasi 4.0, negara mana yang akan memasok hasil pertanian?” ungkapnya dalam forum “Smart Talk with Jusuf Kalla” yang diselenggarakan oleh pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat itu. Kata kunci dari hiruk pikuk dan diskursus teknologi 4.0 belakangan ini adalah soal efisiensi dan penggunaan teknologi pada tempatnya.

Implementasi Society 5.0, yang pertama kali dipicu oleh pidato Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Davos, Swiss, beberapa waktu lalu, sejatinya selalu mengedepankan aspek manusia (humanity). Bukanlah robot. Jepang memang negara yang paling berkepentingan mengadopsi pendekatan Society 5.0, mengingat mereka dilanda era aging population. Produk dan budidaya teknologi 4.0 yang sudah berkembang pesat di negara Matahari Terbit itu, diharapkan bisa menolong kehidupan penduduk usia lansia mereka lebih baik lagi. Inilah yang dimaksud JK sebagai penggunaan teknologi pada tempatnya.

Perubahan Bisnis

Setiap perkembangan teknologi, tentu selalu melahirkan perubahan, pun dalam dunia bisnis. Perubahan yang terjadi inilah kadang sulit untuk diterima. Padahal, suka atau tidak suka, perubahan haruslah melahirkan cara atau metode baru, agar bisnis bisa beradaptasi dengan lebih baik.  “Yang lebih penting adalah pelaksanaan perubahan itu,” lanjut JK.

Ia pun mencontohkan harga murah berbagai produk buatan Tiongkok yang membanjiri pasar global, tak terkecuali Indonesia. “Efisiensi tenaga kerja dan pemanfaatan teknologi otomasi menjadi pembeda Cina dengan negara-negara lain, yang membuat harga produk mereka lebih murah dibanding produk kita,” kata Wapres.

Perubahan bisnis sebagai dampak dari kehadiran teknologi baru sebagaimana ditegaskan JK juga melanda industri media. “Industri media hari ini dan masa depan harus bergerak ke arah personalisasi. Kelak akan semakin banyak muncul kanal-kanal personal sebagaimana yang sudah terjadi sekarang. Inilah yang menjadi tantangan para pebisnis media saat ini,” ungkap Chairul Tanjung (CT) yang berbicara sebelum sessi Jusuf Kalla di acara yang sama tersebut.

Menurut pendiri CT Corp itu, kehadiran kanal-kanal pribadi akan menjadi musuh bagi media tradisional. Fenomena ini dipicu oleh pemanfaatan artificial intelligent (AI) yang mampu membantu mempersonalisasi kebutuhan konsumen. Tren, kini semakin mudah diprediksi dengan menggunakan AI.

Pada akhirnya, situasi terkini perkembangan teknologi akan menciptakan evoluasi pada (industri) media. “Kita harus me-reinvented bisnis model media. Jika tidak, maka (bisnis  media) akan tenggelam,” ucap CT yang dikenal memiliki sejumlah perusahaan media itu. (asw)