Bijak Bermedsos dan Skeptis

PRINDONESIA.CO | Kamis, 10/10/2019 | 4.779
Dibutuhkan sikap tegas warganet terhadap para penyebar hoaks. Terutama, di dalam grup chat seperti WhatsApp.
Dok. PR INDONESIA/ Aisyah

Rendahnya tingkat literasi digital masyarakat Indonesia saat ini menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi pemerintah. Khususnya, Kemenkominfo dalam menciptakan dunia maya yang sehat, aman dan bersih dari pernyebaran hoaks.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Fakta ini mengemuka di event konferensi Siberkreasi Nitizen Fair 2019 sesi “Digi Conference I: Beat Negativity with Positivity” di Jakarta, Sabtu (5/10/2019). Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara yang menjadi keynote speaker hari itu secara gamblang mengatakan, pesatnya perkembangan era digital menjadikan penyebaran informasi sulit untuk dibendung.

Ya, tidak dapat dipungkiri kecanggihan internet memang memudahkan warganet dalam memperoleh informasi. Namun, kondisi ini bisa menjadi bumerang. "Meski kemajuan digital memudahkan kita berkomunikasi dan berinteraksi, di sisi lain kita juga berada di lingkungan yang rentan terhadap penyebaran konten negatif. Sebut saja, hoaks, cyberbullying hingga online radicalism," ujarnya.

Untuk itu, Chief RA, begitu Rudiantara karib disapa, mengimbau agar masyarakat bisa lebih bijak dan skeptis saat menerima berbagai bentuk informasi. Serta, berani bersikap tegas terhadap para penyebar hoaks. Terutama, di dalam grup chat seperti WhatsApp.

Hal senada juga disampaikan oleh Adita Irawati, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi. Perempuan yang siang itu turut hadir sebagai pembicara tak memungkiri seiring perkembangan media sosial, serangan hoaks dan bullying terhadap kinerja dan sosok Presiden Joko Widodo bak jamur di musim hujan. Setiap hari ribuan komentar membanjiri akun Instagram orang nomor satu di Indonesia itu. Mulai dari pengaduan masyarakat, dukungan hingga hujatan.Sudah menjadi kewajiban Adita bersama tim untuk mengonter segala pemberitaan negatif dengan narasi-narasi positif.

Jeli
Kondisi ini menuntut Adita sebagai praktisi humas harus lebih jeli dalam menganalisis komentar-komentar mana yang perlu direspons dan dibiarkan.Karena jika kita amati, katanya, banyak komentar-komentar warganet yang hanya sekadar untuk personal eksistensi. Tidak membutuhkan klarifikasi atau jawaban serius.

Wakil Gubernur Jawa Timur merasakan hal serupa. Menurutnya, karakteristik warganet di Indonesia cenderung lebih gemar menyampaikan pendapat atau aduannya melalui akun media sosial, daripada situs resmi pemerintah atau kanal-kanal aduan yang sudah disediakan. Disamping itu, warganet lebih menggemari unggahan yang bernuansa santai dan bersifat pribadi seperti aktivitas keluarga maupun keseharian. "Mereka justru tidak begitu antusias ketika saya menggunggah konten yang bersifat kaku, serius, bahkan informatif," ujarnya mengaku.

Sementara itu, Walikota Bogor Bima Arya memiliki cara sendiri untuk menarik atensi warganet di media sosial. Pemilik akun Instagram dengan pengikut lebih dari 215 ribu tersebut tak ragu membagi konten di akun IG-nya ke dalam tiga kategori.

Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan sosialisasi lebih sering dikemas ke dalam bentuk video berdurasi satu menit. Kedua, konten yang ditujukan untuk mengklarifikasi informasi negatif yang dianggap berpotensi mengganggu program-program pemerintah yang tengah berjalan, serta isu-isu yang dinilai mampu mengganggu stabilitas keamanan negara. Terakhir, konten yang bermuatan motivasi. (ais)