Meneropong Disrupsi di Dunia Komunikasi

PRINDONESIA.CO | Rabu, 27/11/2019 | 3.131
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh sebuah brand/perusahaan di era disrupsi adalah segalanya terus bergerak dan berubah dengan begitu cepat.
Dok. Istimewa

Tema disrupsi mengemuka di acara Disrupto yang diselenggarakan WIR Group. Selama tiga hari di Jakarta dari 22 – 24 November 2019, beragam disrupsi yang hangat di muka bumi ini dikupas tuntas. Termasuk disrupsi yang terjadi di industri public relations (PR).

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Menurut Almira Shinantya, Managing Director DM ID Group, member of WIR Group, yang membedakan PR dulu dan sekarang adalah sebelumnya perusahaan/instansi cenderung menggunakan pihak ketiga (agensi PR) untuk melakukan kampenye, membangun hubungan dengan media, hingga menangani krisis. Sekarang, setiap perusahaan/lembaga bisa menyuarakan suaranya secara langsung dengan memanfaatkan keberadaan media sosial ataupun platform digital lainnya.

Namun, di sisi lain keberadaan media sosial juga membawa tantangan tersendiri bagi PR dalam membangun brand awareness. Setidaknya, PR harus bersaing dengan berbagai platform digital untuk merebut atensi publik. “Inilah disrupsi,” ujarnya berpendapat saat ditemui PR INDONESIA di sela-sela acara DISRUPTO bertajuk “The Future of Humanity” di Jakarta, Jumat (22/11/2019).

Kondisi tersebut lantas menuntut pelaku agensi PR untuk menawarkan nilai lebih bagi para pelanggannya, memperkuat kemampuan dalam menciptakan strategi komunikasi, memahami brand value dari perusahaan yang bersangkutan. Sehingga, setiap strategi komunikasi yang dilakukan PR mampu memberikan dampak positif pada perusahaan.

Untuk itu, dibutuhkan sosok PR yang tidak sekadar mengerti tentang dunia komunikasi. Lebih dari itu, menguasai industri yang dibidanginya, bisnis itu berjalan, tren terkini, hingga mampu membangun relasi yang baik dengan pemerintah, serta memahami perilaku pelanggan. Menurutnya, kompetensi ini bukan hanya berlaku bagi agensi PR atau pelaku PR di internal perusahaan, tapi semua yang bergelut di industri kreatif harus benar-benar mengerti secara keseluruhan. 

 

Atur Strategi

Kunci untuk mencapai itu semua adalah terus belajar. Perempuan blasteran Belanda kelahiran tahun 1983 ini meyakini selalu ada ruang untuk berkembang jika kita ingin belajar. Sebab, tantangan terbesar yang dihadapi oleh sebuah brand/perusahaan adalah segalanya terus bergerak dan berubah dengan begitu cepat tanpa kita sadari. Ibarat pelari maraton, PR dituntut mengatur strategi—mampu mengatur kecepatan, tahu kapan ia harus berhenti, istirahat, melambat, hingga berjalan. “Jadi, walaupun harus cepat, harus diukur kecepatan yang paling tepat untuk kita supaya bisa berkelanjutan,” ujarnya, tegas.

Perempuan berparas cantik ini lantas membagikan tips dalam membangun korporat brand di tengah era disrupsi. Pertama, pahami dan kuasai core value dari brand yang dinaungi. “Semuanya berputar di sekitar itu,” katanya. Kedua, pahami kembali apa tujuan awal brand itu ada. Ketiga, ketahui kekuatan brand, nilai-nilai yang mau ditanamkan, serta personalitas yang ingin dimunculkan. Baru setelah itu membuat konten komunikasi yang relevan dengan tujuan dan brand essence.

Tak lupa ia mengajak para PR untuk meningkatkan kemampuan agar tak ada hambatan selama mengarungi lautan disrupsi. Antara lain, cobalah untuk berpikir jauh lebih strategis dalam melihat permasalahan. Tidak hanya melihat apa yang sedang dihadapi saat ini, tetapi beberapa langkah ke belakang dan ke depan. “Melihat ke belakang dalam arti brand purpose dan value. Sebelumnya hal ini sudah ada,” katanya. Tujuannya, untuk melihat kembali di mana akar dari segalanya. Selain itu, menerawang ke depan untuk mencapai target dan berkelanjutan (sustain). (ais)